Erina Gudono Disebut ‘Marie Antoinette Indonesia’, Mengapa? – Liputan Online Indonesia

liputanbangsa.com Seperti diketahui, Kaesang yang digembar-gemborkan akan maju sebagai wakil calon gubernur Jawa Tengah bergantung pada revisi UU Pilkada mengingat dirinya belum cukup umur.

Erina Gudono, menantu Presiden Joko Widodo, menjadi sorotan akibat unggahannya di media sosial yang disebut-sebut memamerkan gaya hidup mewah. Banyak warganet menyebutnya berperilaku seperti Permaisuri Raja Prancis Louis XVI, Marie Antoinette.

Begitu bunyi unggahan akun X (sebelumnya Twitter) @Matarael pada Rabu (21/08).

Dua foto disematkan di bawah kalimat itu: ilustrasi Marie Antoinette memamerkan kue serta unggahan Erina Gudono tentang roti seharga Rp400.000 yang dibelikan suaminya, Kaesang Pangarep—putra bungsu Jokowi.

Unggahan mantan kontestan Putri Indonesia itu dianggap tidak peka di tengah kekecewaan publik atas langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pencalonan kepala daerah.

Ketika tulisan ini dibuat pada Jumat (23/08), unggahan @Matarael yang memiliki sekitar 22.000 pengikut itu telah ‘disukai’ setidaknya 27.400 akun X.

Bukan hanya @Matarael, banyak akun di jejaring media sosial itu yang membandingkan mantan kontestan Putri Indonesia dari Daerah Istimewa Yogyakarta itu dengan Marie Antoinette.

Kata “Erina Gudono” dan “Marie Antoinette” sempat menjadi perbincangan teratas media sosial sekitar 24 jam sejak Rabu (21/08).

Let them eat roti Rp 400 ribu,” tulis akun @pritiktanya pada Rabu (21/08).

Kalimat itu merujuk ke kalimat klise “let them eat cake” (“ya, makan kue saja sana!”) yang diklaim terucap dari mulut si istri raja Prancis. Kalimat itu disebut-sebut terlontar dari Marie Antoinette ketika dimintai tanggapan soal rakyat Prancis yang kelaparan dan tidak punya roti untuk dimakan.

Frasa ini menggambarkan sikap acuh tak acuh terhadap penderitaan rakyat—karena sang ratu menyarankan agar mereka makan kue yang lebih mahal.

“Situasi Jakarta (saat unggahan Erina viral) memang belum demonstrasi, tapi sudah mulai ramai,” ujar @pritiktanya pada Jumat (23/08).

Dia mengaku sengaja mengunggah postingan tadi untuk menyindir perilaku tidak peka: berfoya-foya ketika rakyat sedang kesusahan.

Baik @pritiktanya dan @Matarael sama-sama mengakui adanya semacam salah kaprah mengenai penggalan kalimat ‘let them eat cake’. Namun, analogi Marie Antoinette sebagai seseorang dari kalangan elite yang tidak peka akan kondisi sosial dianggap lebih dikenal.

“Budaya pop lebih mengenal frasa ‘let them eat cake’ meskipun salah kutip,” ujar Will, pemilik akun @Matarael.

Dalam konteks Asia Tenggara, analogi itu bisa disandingkan dengan kisah Imelda Marcos, istri diktator Filipina yang menghamburkan uang negara demi hidup mewah termasuk koleksi sepatu yang disebut-sebut mencapai 3.000 pasang.

Nama Marie Antoinette senantiasa dihubungkan dengan anjloknya rasa percaya masyarakat terhadap monarki pada tahun-tahun terakhir rezim Kerajaan Prancis.

Sosoknya yang menyimbolkan kehidupan foya-foya dianggap salah satu pemicu Revolusi Prancis yang berujung pada dieksekusinya Marie Antoinette dan Louis XVI dengan guillotine sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan monarki di Prancis.

 

Siapa Marie Antoinette?

Perempuan bernama lengkap Maria Antonia Josepha Johanna itu lahir di Istana Hofburg, Wina, Austria, pada 2 November 1755.

Pada 16 Mei 1770, di usia 14 tahun, Maria Antonia menikah dengan pangeran Louis-Auguste yang pada saat itu berusia 15 tahun dan mulai dikenal sebagai Marie Antoinette, varian bahasa Prancis dari nama lahirnya.

Suami Marie Antoinette naik takhta pada tahun 1774 dengan gelar Louis XVI. Louis XVI—yang pada saat itu berusia 19 tahun naik takhta kala masyarakat Prancis mulai jengah terhadap monarki.

Pendahulunya, Louis XV yang merupakan kakeknya dikenal sebagai playboy dan Prancis saat itu dilanda krisis finansial dan ekonomi.

Ketidakbecusan Louis XVI sebagai raja berujung pada Revolusi Prancis yang dimulai pada 1789.

Revolusi ini dipicu oleh kesenjangan sosial, kelaparan yang melanda masyarakat, dan kekesalan publik terhadap monarki absolut.

Keluarga Louis XVI dianggap sebagai simbol dari rezim yang dianggap korup dan tidak mengindahkan publik rakyat.

Upaya Louis XVI untuk kabur secara diam-diam bersama Marie Antoinette ke Austria pada 1791 digagalkan dan berujung pada pemenggalan keduanya dengan pisau guillotine.

Pada 16 Oktober 1793, Marie Antoinette menjalani hukuman mati. Sementara Louis XVI diangkut ke tempat eksekusi dengan kereta mewah, Marie Antoinette dipaksa duduk di gerobak terbuka selama satu jam perjalanan menuju guillotine.

Menurut para sejarawan, sekalipun dicemooh kerumunan massa, Marie Antoinette terlihat tenang. Kata-kata terakhirnya sebelum meregang nyawa adalah: “Pardonnez-moi, monsieur. Je ne l’ai pas fait exprès” atau “Maafkan saya, Tuan, saya tidak sengaja” setelah menginjak sepatu algojo.

Seniman Madame Marie Tussaud ditugaskan membuat topeng kematian dari kepala Marie Antoinette yang terpenggal—sementara mayatnya dibuang ke kuburan tanpa tanda di pemakaman Madeleine, yang ditutup setahun kemudian.

 

‘Let them eat cake!’, apakah benar ini kutipan langsung dari Marie Antoinette?

Sebagai ratu terakhir Prancis, Marie Antoinette memiliki citra sebagai permaisuri yang luar biasa masa bodoh dan tidak peka terhadap rakyat.

Dia dianggap menyimbolkan semua hal yang salah terhadap orang-orang bangsawan papan atas dan semua masalah Prancis yang memicu revolusi.

Terlepas dari perdebatan mengenai propaganda-propaganda politik pada masa itu, citra Marie Antoinette sudah telanjur tercoreng dalam sejarah.

Seleranya yang luks dan gaya hidup mewahnya—mulai dari pesta-pesta megah dan berbagai perhiasan mahal—membuat Marie Antoinette menjadi sosok yang dibenci pada era Revolusi Prancis. Apalagi mengingat rakyat jelata masa itu sebegitu miskinnya hingga kelaparan.

Let them eat cake!” atau dalam Bahasa Prancis adalah “Que la brioche!” seringkali dikaitkan dengan Marie Antoinette—meskipun fakta sejarah mengenai apakah benar dia mengatakan ini diperdebatkan.

Penulis Jean-Jacques Rousseau dalam koleksinya autobiografinya yang dipublikasikan pada 1782 menulis bagaimana “seorang putri raja” mengucapkan kalimat ini ketika diberitahu bahwa rakyat jelata tidak punya roti.

Brioche sendiri adalah sejenis roti Prancis yang lembut, bertekstur ringan, dan kaya akan mentega—harganya lebih mahal daripada roti yang merupakan makanan pokok masyarakat Eropa.

Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira kalimat itu berbunyi acuh, seperti: “ya, makan kue saja sana!”

Tidak ada bukti kuat bahwa Marie Antoinette pernah mengucapkan frasa ini.

Kemungkinan besar kalimat ini muncul dari Jean-Jacques Rousseau sebagai satire untuk menggambarkan ketidakpedulian kaum kelas atas terhadap penderitaan rakyat.

Sejarawan dan penulis Inggris yang mengajar Revolusi Prancis di Universitas Oxford, Peter Carey, mengakui kebenaran apakah kalimat itu terucap dari Marie Antoinette tidak dapat dipastikan.

Namun, Carey mengakui sangat bisa mepahami apabila ungkapan itu diyakini berasal dari Marie Antoinette mengingat citranya yang tidak peka terhadap situasi di masyarakat.

 

Mengapa Marie Antoinette begitu ‘dibenci’ publik pada zamannya?

Sejarawan Peter Carey menjelaskan Marie Antoinette dibenci pada masa-masa itu mengingat statusnya sebagai “putri asing”.

“Dia berasal dari Austria dan dianggap sebagai seseorang yang sangat tidak peka,” ujar Carey.

Carey mengisahkan bahwa Louis XVI juga sama tidak pekanya sama seperti Marie Antoinette.

Dia menyebut bagaimana Louis XVI mesti diberitahukan oleh komandan tentaranya bahwa sedang terjadi revolusi saat Penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789.

“Dia tidak mengerti bahwa revolusi sedang berkecamuk dan pada akhirnya akan menghancurkan monarki dan memenggal kepalanya sendiri. Dia sama sekali tidak memiliki firasat akan hal itu. Sama halnya dengan Marie Antoinette,” tutur Peter Carey.

Walaupun kalimat ‘let them eat cake!’ kini menjadi sebuah klise, Carey menyebut ungkapan itu merangkum orang-orang kelas atas yang sama sekali tidak menyadari penderitaan yang dialami penduduk.

“Kekurangan roti, kekurangan makanan, krisis di negara, yang sebagian finansial dan sebagian ekonomi,” ujar Carey.

Marie Antoinette, sambung Carey, masih terkait dengan kelompok kontra-revolusi Austria. Pada Juni 1792, Marie Antoinette dan Louis XVI mencoba melarikan diri ke Austria dan bergabung dengan sekutu.

“Mereka ditangkap di Varennes karena salah satu kepala pos di Varennes, Andraud, mengenali raja dari profilnya pada koin Prancis,” ujar Carey.

Louis XVI, imbuhnya, berupaya menerapkan monarki konstitusional tetapi kredibilitas dirinya dan Marie Antoinette – sudah rusak karena upaya melarikan diri tadi dan upaya bergabung dengan kelompok yang ingin menghancurkan revolusi.

 

Apa relevansi kisah Marie Antoinette dan Revolusi Prancis dengan situasi politik Indonesia saat ini?

Sejarawan Carey menyebut sosok Marie Antoinette merangkum segala hal yang salah dengan rezim pada tahap awal Revolusi Prancis.

Carey menanggapi perbandingan antara Marie Antoinette dengan unggahan Erina Gudono dengan roti seharga Rp400.000 tadi sebetulnya terjadi mengingat adanya benang merah dari segi ketidakpekaan atas apa yang terjadi di masyarakat.

“Fakta bahwa putra bungsu (Jokowi), Kaesang (Pangarep) dan istrinya (Erina Gudono) pergi ke Amerika  dan memamerkan kekayaan mereka dalam hal roti sandwich yang harganya upah sehari… itu cukup merangkumnya,” jelas Carey.

“Itu sangat mirip dengan jenis profil media sosial yang dimiliki Marie Antoinette di Paris,” tambahnya.

Carey menjelaskan bagaimana para kelompok revolusi Prancis yang menyerbu Versailles pada Oktober 1792 dan mengarak keluarga kerajaan kembali ke Paris menyanyikan lagu yang menyebut-nyebut Louis XVI sebagai “tukang roti” dan Marie Antoinette sebagai “istri tukang roti”

“Semuanya berkaitan dengan roti, dan semuanya berkaitan dengan situasi ekonomi rakyat jelata,” ujar Carey.

“Ini adalah tentang keluarga kerajaan yang benar-benar tidak peka, telah abai akan kenyataan, terlalu peduli dengan urusan mereka sendiri sampai-sampai tidak memahami krisis yang lebih luas yang menyelimuti negara.”

 

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *