liputanbangsa.com – Pada tahun 1999, seorang pria di Jepang bernama Hisashi Ouchi disebut mengalami kematian paling mengerikan di dunia.
Tubuhnya ‘meleleh’ secara perlahan-lahan setelah mengalami kecelakaan nuklir dan terpapar radiasi tinggi yang mematikan.
Kejadian berawal pada 30 September 1999 di pabrik konversi dan pengolahan bahan bakar nuklir bernama JCO di Desa Tokai, Prefektur Ibaraki.
Ia datang sekitar jam 10 pagi bersama seorang rekan kerja bernama Masato Shinohara memasuki area pemrosesan pabrik.
Seorang pengawas bernama Yutaka Yokokawa juga datang namun ia berada di ruang yang berbeda.
Ouchi dan Shinohara diperintahkan untuk menyiapkan sejumlah kecil bahan bakar untuk reaktor pembiak cepat eksperimental Joyo dengan uranium yang diperkaya hingga 18,8 persen U-235.
Ouchi dan rekan kerjanya itu sebenarnya terbiasa bekerja dengan kadar kurang dari 5 persen.
Mereka tidak mendapatkan pelatihan formal untuk tugas tersebut dan tidak menyadari bahwa pedoman manual pengoperasian tidak disetujui oleh Badan Sains dan Teknologi.
Namun, karena adanya permintaan, mereka akhirnya mempercepat prosesnya.
Prosedur standar sebenarnya dilakukan dengan cara memasukkan larutan uranium melalui perangkat yang mengukur jumlah tepat untuk didistribusikan ke tangki presipitasi.
Tapi mereka justru memasukkannya langsung ke ember baja tahan karat.
Bejana tersebut tidak dirancang untuk menampung lebih dari 2,4 kg, namun mereka telah memasukkannya lebih dari 16 kg.
Ketika prosedur itu dilakukan, Ouchi dan Shinohara tiba-tiba melihat kilatan cahaya biru hasil radiasi Cerenkov.
Radiasi tersebut merupakan ekuivalen elektromagnetik dari ledakan sonic.
Setelah sempat dibawa ke Institut Nasional Ilmu Radiologi Chiba, Ouchi akhirnya dipindahkan RS Universitas Tokyo beberapa hari setelah kecelakaan.
Sesampainya di rumah sakit, Ouchi yang saat kecelakaan berada paling dekat dengan tangki masih bisa berbicara, matanya nampak merah, wajah sedikit membengkak, dan belum memiliki luka lepuh.
Seiring berjalannya waktu kondisi Ouchi makin memburuk. Organ dalamnya mulai rusak dan sel darah putihnya hampir nol.
Pada saat itu dokter mencoba melakukan transplantasi sel punca perifer untuk memulihkan sistem kekebalan tubuhnya, namun semua itu gagal .
Sel-sel sumsum tulang belakang yang didapat dari donor hancur karena radiasi setelah dimasukkan ke dalam tubuh Ouchi.
Selain itu, kulitnya juga mulai ‘meleleh’ dan darah keluar dari matanya.
Pemeriksaan menunjukkan paparan radiasi telah menghancurkan kromosom atau DNA yang memungkinkan kulit untuk beregenerasi.
Ia akhirnya menjadi satu-satunya manusia yang hidup tanpa DNA.
Akibatnya lapisan epidermis yang melindungi tubuhnya secara bertahap menghilang dan menimbulkan rasa sakit yang intens.
Ia juga sempat mengalami masalah pernapasan, susah makan, hingga gagal jantung. Setelah berbagai kondisi tersebut, Ouchi akhirnya meninggal pada Desember 1999.
Shinohara juga meninggal dunia beberapa bulan setelah kematian Ouchi.
(ar/lb)