Mohammad Saleh; Perda Penyiaran Harus Menjawab Kebutuhan daerah supaya bisa menjadi panutan masyarakat

ByRedaksi

2 Desember 2022

 

Surakarta, Liputanbangsa.com- Ketua Komisi A Mohammad Saleh bersama sejumlah narasumber tengah menjadi narasumber dalam Uji Publik Raperda Penyelenggaraan Penyiaran. Rancangan Perda (Raperda) Penyelenggaraan Penyiaran diujipublikkan. Komisi A DPRD Jateng sebagai inisiator raperda tersebut ingin kegiatan uji publik ini bertujuan untuk mendapatkan data, informasi, dan masukan dari para stakeholder, perangkat daerah terkait, dan masyarakat khususnya pelaku industri penyiaran.

Bertempat di The Sunan Hotel, Kamis (1/12/2022), Ketua Komisi A Muhammad Saleh menyebutkan, pihaknya ingin mendapatkan masukan dari daerah maupun penyelenggara penyiaran daerah. Diakuinya perubahan pola penyiaran sekarang ini butuh aturan hukum yang jelas. Platform media digital telah menjadikan ruang siaran menjadi luas dan mudah diakses siapa pun dan di mana pun. Karena itulah butuh aturan supaya isi media bisa menjadi panutan masyarakat. Selain itu menjadi juga menjadi catatan khusus, acuan hukum raperda ini yakni undang-undang juga sampai sekarang belum disahkan DPR.

“Saya hanya ingin, DPRD membuat dulu rancangan perdanya. Masalah penyiaran sampai sekarang ini DPR belum mengesahkan revisi dari UU No 32/2002. Bahkan saat kami ke Kementerian Kominfo pun mereka belum bisa menjawab,” ucapnya saat menjadi narasumber dalam Uji Publik Raperda Penyelenggaraan Penyiaran.

Peraturan daerah ini nanti diharapkan mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri penyiaran di daerah, sehingga mampu menjadi industri baru yang mensejahterakan masyarakat Jawa Tengah.

Sekretaris Dinas Kominfo Jateng Hermoyo Widodo memberikan beberapa masukan. Mengenai penyiaran, sebenarnya kegiatan siaran yang menggunakan frekuensi radio/terrestrial bukan penyiaran berbasis aplikasi internet. Bukan termasuk streaming/podcast.

Soal pembagian wewenang , perizinan penyiaran langsung dibawah Kementerian Kominfo. Dalam kegiatan pengawasan di bawah Balai Monitoring milik Kementerian Kominfo yang ada di Kota Semarang.

“Untuk pengawasan isi siaran menjadi tanggung jawab Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID),” ucapnya.

Juga masalah konten lokal, lanjut Himawan, perlu diatur supaya ada nilai ke-jawa tengah-an baik untuk ajang promosi, edukasi, serta informasi. Diperhatikan pula mengenai lembaga penyiaran publik lokal apakah berbentuk badan layanan unit daerah (BLUD) atau dikelola langsung OPD atau perusda.

Dosen Komunikasi Undip Dr Lintang Ratri Rahmiaji memberikan apresiasi dengan langkah progresif yang dilakukan Komisi A terkait pengaturan penyiaran. Keberadaan UU No 32/2002 sepatutnya direvisi mengingat isinya sudah tidak bisa relevan untuk mengakomodasi kemajuan teknologi yang berkembang pesat. Menjadi kritikan untuk Raperda Penyelenggaraan Penyiaran ini perlu dikaji ulang menyeluruh.

Menurutnya, masih ada sejumlah aturan yang masih mengulang dan sudah diatur dari UU Penyiaran 2002, yang tidak substantif menjawab kebutuhan daerah.

“Perlu dipertimbangkan isi revisi UU Penyiaran terutama perubahan teknologi yakni digitalisasi yang secara langsung meniadakan batas geografis dan waktu. Saya juga melihat Raperda ini tidak memiliki orientasi pada kepentingan daerah. Terlihat dari pertimbangan akademik munculnya peraturan, terma yang digunakan adalah terma penyelenggaraan penyiaran nasional bukan penyiaran daerah,”ungkapnya.

Saleh berterima kasih dengan masukan tersebut. Raperda yang digagas Komisi A perlu diujipublikkan untuk mendapatkan masukan supaya isi draf menjadi komprehensif. (cahyo/priyanto/LBI)

liputanbangsa.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *