MK Izinkan Kampanye di Sekolah dan Kampus, Pakar Pendidikan : Keputusan Buruk – Liputan Online Indonesia

ByTia Putri

22 Agustus 2023 , , , ,

JAKARTA, liputanbangsa.comMahkamah Konstitusi (MK) mengetok putusan larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan kampanye di sekolah dan kampus meski dengan catatan.

Pemerhati pendidikan menilai putusan MK ini buruk dan berbahaya.

“Saya menilainya ini sangat tidak bijak. Mestinya, lembaga pendidikan harus netral,” kata Ki Darmaningtyas, pemerhati pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), membagikan perspektifnya, Selasa (22/8/2023).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu bernomor Nomor 65/PUU-XXI/2023, diketok pada 15 Agustus 2023 lalu.

MK mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h.

Jadinya, pihak yang berkampanye dilarang memakai fasilitas pendidikan kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan hadir tanpa atribut kampanye.

Aturan yang berubah hanya khusus untuk tempat ibadah saja yang kini dilarang total tanpa syarat lainnya.

“Pasti lembaga pendidikan tersebut hanya akan mengundang calon-calon yang mereka kehendaki dan senangi. Itu menurut saya akan berkontribusi mempertajam konflik di masyarakat,” kata Darmaningtyas.

Ki Darmaningtyas, pemerhati pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS)/(dok.istimewa)

Bayangan suram mulai terpikirkan. Lembaga pendidikan berkubang dalam politik praktis.

Bakal ada sekolahan yang mengguncang salah satu capres saja, sementara sekolahan lain mengundang capres lainnya.

Sekolahan satu dan sekolahan lain saling beda pilihan. Siswa-siswanya juga terdampak polarisasi Pemilu 2024.

“Konflik horizontal akan semakin tajam. Selama ini kan konflik horizontal bisa diredam oleh kampus atau institusi pendidikan. Tapi kalau sekolah dan kampus juga terlibat konflik horizontal, lantas bagaimana? pihak mana yang harus meredam konflik horizontal? ” kata alumnus Fakultas Filsafat UGM ini.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, punya kekhawatiran yang sama.

Putusan MK itu diprediksinya bakal berdampak buruk bagi ekosistem pendidikan.

Konflik kepentingan akan bersemi bak jamur pada musim penghujan di bangku sekolah dan gedung perguruan tinggi.

“Sangat memungkinkan ada konflik/tawuran di dalam atau luar sekolah, bisa antar-guru, antar-murid, antar-wali murid, hanya dipicu gara-gara beda pilihan,” kata Ubaid

Mobilisasi sekolah dan kampus untuk kampanye diresahkannya bakal terjadi.

Jangankan beda pilihan sekolah satu dengan sekolahan lain, pihak-pihak dalam satu sekolah dan satu kampus juga bakal beda-beda pilihan.

MK sudah mengetok palu. Ubaid menyarankan agar kampus dan lembaga pendidikan dapat menggelar forum yang lebih baik ketimbang sekadar kampanye.

Format yang paling tepat adalah diskusi intelektual mengandalkan argumentasi dan data, bersifat edukatif bukan provokatif.

“Apalagi, institusi pendidikan ini kan banyak pemilih pemula, maka kewajiban pemerintah adalah memberikan pendidikan politik kepada pemilih pemula. Tanpa itu semua, maka yang terjadi adalah tawuran dan marak adegan kekerasan. Lihat saja, pemilihan presiden BEM atau DEMA aja mereka berantem, apalagi pemilihan Presiden Indonesia,” tutur Ubaid.

Dia menyarankan ada aturan detail yang dirumuskan untuk menjaga aktivitas politik praktis kampanye di institusi pendidikan, entah aturan oleh KPU, Bawaslu, atau Kemendikbudristekdikti.

Regulasi turunan diperlukan agar marwah pendidikan tidak rusak oleh ulah politikus yang ingin menang pemilu.

“Harus diatur detailnya, apa yang boleh dan tidak boleh. Jangan disamakan dengan kampanye di lapangan. Perlu diatur pula bagaimana cara masuknya, melalui izin pimpinan atau bagaimana? Kalau hanya melalui izin pimpinan, ini bisa bermasalah karena izin pimpinan terlalu eksklusif,” kata Ubaid.

(ar/lb)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *