Mulai Juni 2025, Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Diganti di Semua RS – Liputan Online Indonesia

liputanbangsa.comPenerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan direncanakan bakal berlaku di seluruh RS Indonesia mulai Juni 2025 mendatang.

Sayangnya, hasil evaluasi Kementerian Kesehatan RI menunjukkan tidak sedikit RS pemerintah maupun swasta yang belum siap memenuhi 12 kriteria fasilitas rawat inap standar.

Adapun 12 kriteria tersebut meliputi:

  1. Komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi
  2. Ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 (enam) kali pergantian udara per jam
  3. Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur
  4. Kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 (dua) kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur
  5. Adanya nakas per tempat tidur
  6. Dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat celcius
  7. Ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi)
  8. Kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 (empat) tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter
  9. Tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung
  10. Kamar mandi dalam ruang rawat inap
  11. Kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas
  12. Outlet oksigen

 

Penjelasan Kemenkes RI

 

 

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Azhar Jaya mengungkap ada 41 RS pemerintah, kelas A dan kelas B yang belum menyanggupi penerapan KRIS.

Padahal, menurutnya, pendapatan dua kelas RS tersebut selama setahun bisa berada di angka Rp 200 hingga Rp 400 miliar.

“Ini kan artinya sebetulnya mampu, tinggal mau atau tidak,” tegas Azhar dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu (27/3/2024).

Sementara untuk RSUD tipe atau kelas C dan D, kendala penerapan KRIS memang berada di pendapatan RS yang terbatas.

Ada 190 RSUD yang belum mampu memberlakukan perbaikan fasilitas rawat inap standar.

Karenanya, pemerintah menyiapkan bantuan dana alokasi khusus di 2024 untuk 58 RSUD pada 23 provinsi dan dana alokasi khusus 2025 di 94 RSUD pada 33 provinsi.

“Kami memahami bahwa mereka perlu diberikan waktu sehingga memang kami merancang daripada relaksasi untuk peraturan implementasi KRIS ini menjadi sampai dengan tahun Juni 2025,” terang Azhar.

Tren yang tidak jauh berbeda juga ditemukan pada RS swasta, pihak RS dengan kelas A dan B sebetulnya memiliki pendapatan di Rp 200 hingga Rp 500 miliar per tahun, namun masih terdapat 38 RS yang belum menerapkan KRIS.

Sementara untuk RS swasta dengan kelas C dan D tercatat sebanyak 376 RS yang belum memenuhi ketentuan KRIS dengan kendala pendapatan lebih rendah dan relatif bervariasi.

Adapun alokasi pendanaan banyak RS swasta selama ini demi memenuhi biaya operasional RS.

Kemenkes RI melakukan survei terhadap lebih dari 200 orang terkait KRIS, baik dari pasien yang menjalani perawatan di RS yang sudah menerapkan aturan tersebut, maupun RS yang belum menerapkan KRIS.

Hasilnya tidak jauh berbeda, kurang lebih 40 persen di dua tempat tersebut sudah mengetahui informasi mengenai KRIS.

Namun, saat ditanyakan lebih lanjut mengenai rincian penerapan KRIS, banyak yang belum mengetahui bila penerapan KRIS tidak membuat iuran kepesertaan BPJS berubah.

Tidak sedikit yang juga belum mengetahui tujuan utama KRIS adalah perubahan jumlah tempat tidur, tetapi mayoritas sebetulnya sudah paham KRIS akan mengganti kelas rawat inap dalam BPJS Kesehatan.

Setuju atau Tidak Setuju dengan KRIS?

“Pandangan terhadap KRIS, dari 270 pasien yang kami survei, mereka 87,1 persen setuju pada pasien yang dirawat pada RS belum KRIS. Pada RS yang sudah KRIS, angkanya lebih tinggi lagi 91,5 persen setuju,” beber Azhar.

Lebih dari 50 persen setuju karena merasa kualitas penerapan KRIS BPJS lebih baik, lantaran ruang rawat inap lebih nyaman, nihil diskriminasi dan fasilitas lebih bagus dengan tidak mengubah iuran.

“Adapun pasien yang tidak setuju dengan KRIS diterapkan ini ada 4 yang menjadi alasan utama adalah mereka merasa iuran turan tidak sesuai, karena bertambah tempat tidur per kamar, privasi pasien akan terganggu, ruangan jadi sempit, mereka meras mengkhawatirkan kualitas pelayanan,” pungkas Azhar.

 

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *