Pengetatan Paspor untuk Pekerja Migran Perempuan Dinilai ‘diskriminatif’ – Liputan Online Indonesia

JAKARTA, liputanbangsa.comKebijakan Direktorat Jenderal Imigrasi memperketat pengajuan paspor pekerja migran perempuan demi mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dinilai “diskriminatif dan seksis”.

Bukannya melindungi para pekerja migran perempuan, kebijakan itu dinilai para pegiat justru berpotensi membatasi ruang gerak perempuan dan tidak menyelesaikan akar masalah pekerja migran ilegal maupun TPPO.

Dirjen Imigrasi Silmy Karim mengatakan, telah memperketat pengajuan paspor untuk perempuan berusia 17 hingga 45 tahun yang tidak jelas data dirinya pada Rabu (2/8).

Menurut Silmy, pengetatan dilakukan karena “banyak perempuan mendapat perlakuan kejam saat bekerja di luar negeri”.

Sedangkan laki-laki disebut “memiliki kemampuan untuk lepas dari tindakan siksaan”.

Melalui kebijakan pengetatan ini, Direktorat Jenderal Imigrasi “mengamankan” kelompok rentan yang hendak pergi ke Kamboja, Malaysia, Myanmar dan beberapa negara Timur Tengah.

Pernyataan itu memicu perdebatan di media sosial. Sebagian warganet menilai kebijakan itu “mendiskriminasi perempuan dan membuat ketimpangan semakin parah”.

Ada pula yang memandang kebijakan itu sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan agar tak menjadi korban TPPO.

Sejumlah perempuan pun membagikan pengalaman tidak menyenangkannya ketika membuat paspor.

Koordinator Advokasi Migrant Care, Siti Badriyah, menilai kebijakan seperti itu tidak bisa dijadikan tumpuan untuk mencegah TPPO maupun migrasi ilegal.

Memperketat penerbitan paspor pada kelompok tertentu berbasis gender, kata dia, hanya akan “menciptakan diskriminasi”.

“Mestinya kalau mau diperketat itu ya semuanya diperketat. Apalagi di beberapa negara tujuan seperti Kamboja itu banyak korban TPPO laki-laki untuk dijadikan scammer, judi online. Mereka sama saja dengan korban perempuan, sama-sama susah keluar dari lingkungan kerja yang tidak aman,” kata Siti ketika dihubungi pada Senin (7/8).

Secara umum, Migrant Care mengatakan perempuan memang paling rentan menjadi korban TPPO.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2020-2022 menunjukkan bahwa dari 1.581 korban TPPO, sebanyak 96% di antaranya adalah perempuan dan anak.

Sementara itu, dari 240 kasus indikasi TPPO yang diadukan kepada Migrant Care sepanjang 2022 lebih dari 80% korbannya adalah laki-laki.

 

Bukan Kebijakan yang Melindungi

Peneliti dari The Institute of Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengatakan pemerintah semestinya membangun sistem perlindungan yang aman bagi para pekerja migran dibanding membuat kebijakan yang membatasi ruang gerak satu kelompok gender saja.

“Pembatasan orang bergerak itu bukan perlindungan, itu justru pelanggaran hak. Apalagi kalau membatasinya atas dasar gender, itu tidak memberi perlindungan,” kata Sri.

“Itu adalah pengandaian yang salah tentang korban, seolah perdagangan orang itu hanya terjadi pada perempuan,” sambungnya.

Menurut Sri, pekerja migran perempuan memang berada dalam posisi rentan karena mayoritas penempatannya di sektor domestik yang cenderung tertutup.

Mereka rentan mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan menjadi korban perdagangan orang.

Dia mengatakan, bahwa dalam konteks ini, bukan berarti ruang gerak perempuannya yang perlu dibatasi.

Pemerintah semestinya berupaya menyelesaikan persoalannya secara komprehensif dengan menciptakan ruang yang aman bagi pekerja migran.

“Jadi enggak cukup hanya dengan memperketat pembuatan paspor, karena itu bisa berimplikasi jadi melarang hak orang bekerja. Enggak cukup itu dianggap melindungi. Faktanya, sistem perekrutan pekerja migran juga enggak berubah sampai sekarang,” papar Sri.

 

Tak Selesaikan Akar Masalah

Siti dari Migrant Care mengatakan akar masalah dari maraknya TPPO dan migrasi ilegal pekerja Indonesia adalah kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan.

Tanpa menyelesaikan akar masalahnya, Siti menilai TPPO akan sulit dicegah.

Sebagai mantan pekerja migran, Siti mengatakan banyak perempuan di desa-desa memikul beban perekonomian keluarga hingga akhirnya “terjebak dalam sindikat TPPO”.

Di sisi lain, program pemberdayaan perempuan di lapangan dia sebut tidak berkesinambungan.

“Saya sendiri pernah dikasih pemberdayaan, kursus menjahit, memasak, tapi pemasarannya seperti apa? Kan enggak setiap hari ada yang menjahit baju,” kata dia.

Sementara itu, pengawasan pemerintah terhadap proses perekrutan pekerja migran pun dia sebut “sangat lemah”.

Kondisi yang kompleks itu akhirnya mendorong para perempuan terjerat dalam sindikat TPPO.

“Perlindungan itu semestinya kan bagaimana menciptakan ruang aman bagi perempuan, ruang kerja yang aman, sistem perekrutan yang aman,” kata dia.

“Kalau hanya dengan memperketat pembuatan paspor untuk perempuan saja, jadinya kebijakan yang enggak bermakna dan misleading,” tutur Siti.

 

(ar/lb)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *