Psikolog Ungkap Dampak Prank TikTok Pecahkan Telur ke Kepala Anak – Liputan Online Indonesia

liputanbangsa.com Beberapa waktu terakhir viral di kalangan pengguna TikTok tren ‘egg cracking on kid’.

Tren video tersebut memperlihatkan orang tua yang melakukan prank memecahkan telur di kepala anak.

Muncul banyak reaksi yang ditimbulkan dari anak yang menjadi ‘korban’ kejahilan orang tua tersebut. Mulai dari kaget, marah, bahkan hingga menangis.

Berkaitan dengan tren tersebut, psikolog klinis Olphi Disya Arinda, M.Psi menjelaskan bahwa ada dampak besar yang dapat ditimbulkan dari menjadikan anak sebagai lelucon di media sosial.

“Ini dampaknya lebih besar dan menakutkan dari yang kita kira. Nggak dipublikasikan aja dampaknya ada banget, gimana kalau disebarkan dan jadi bahan tertawaan banyak orang?” ucap Disya melalui akun X pribadinya, Minggu (21/8/2023).

Disya menjelaskan bahwa mengerjai anak dapat meningkatkan risiko berkembangnya trust issue terhadap orang tua dan membuat anak jadi menormalisasi dirinya menjadi objek bercandaan.

“Diajak masak bareng, anak sudah semangat, eh malah dikerjain. Kalau ini terjadi keseringan, anak akan belajar tentang pola perilaku orang tua. Diajak melakukan aktivitas bareng orang tua diasosiasikan dengan kemungkinan akan dikerjain,” jelasnya.

“Anak yang menormalisasi dirinya sebagai objek lelucon ini yang bikin anak rentan mengalami bullying. Mereka pikir mereka pantas ditertawakan dan sudah biasa dikerjain untuk bercandaan,” sambungnya.

Disya mengatakan perkembangan emosi anak berisiko bisa menjadi kurang adaptif apabila sering dikerjai. Selain itu, anak yang kerap dikerjai juga rentan menjadi pelaku bully. Apalagi prank kerap dinormalisasikan sebagai ‘hanya bercanda’.

Lebih lanjut, anak yang sering dikerjai oleh orang tuanya juga berisiko tumbuh dengan ketidakmatangan emosi dan kecerdasan emosional yang buruk.

Menurutnya anak perlu dibantu untuk mengelola emosi, apabila tidak dan prank terus dilakukan, maka anak mungkin mengalami kemarahan atau frustasi yang dipendam.

Menurut Disya, hal tersebut dapat menjadi destruktif pada diri, keluarga, relasi, hingga sosial.

“Anak yang sering di prank juga berisiko tumbuh dengan self-esteem yang rendah sehingga rentan mengalami depresi, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, masalah akademik, dan masalah kesehatan,” ujarnya.

“Bayangin aja, wajah kita di-prank tersebar di jagad maya oleh orang tua sendiri lalu ditonton banyak orang asing, dikomen, diedit, lalu tetap ada bertahun-tahun sampai gede,” pungkasnya.

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *