Sejarah Konflik Rohingya, Mengapa Sampai Diusir Myanmar? – Liputan Online Indonesia

liputanbangsa.comSelama beberapa pekan terakhir, Indonesia dihebohkan dengan kedatangan ribuan pengungsi Rohingya di pantai Aceh.

Penanggung jawab Gubernur Aceh, Ahmad Marzuki, menyatakan bahwa para pengungsi saat ini berada di lokasi penampungan daerah Pidie, Sabang, dan Lhokseumawe.

Kedatangan para pengungsi Rohingya di Indonesia berkaitan dengan konflik etnis yang terjadi di Myanmar.

Mereka melarikan diri dari Myanmar untuk mendapatkan tempat menyelamatkan diri dan memperbaiki hidup.

 

Sejarah Konflik Rohingya di Myanmar

Sejarah konflik Rohingya bermula dari Arakan Utara yang terdiri dari kota-kota Maungdaw dan Buthidaung. Sejak akhir abad ke-18, kedua wilayah ini dilanda berbagai kerusuhan dan arus pengungsi.

Ribuan warga Rohingnya mengungsi ke tempat yang sekarang disebut Bangladesh dalam empat periode, yaitu akhir tahun 1700 an dan awal tahun 1800 an, tahun 1940 an, tahun 1978, dan terakhir tahun 1991 dan 1992, dikutip dari Human Right Watch.

Meledaknya arus pengungsi disebabkan oleh perseteruan terkait etnis dan agama karena dipicu oleh perjuangan konflik yang lebih luas.

Selama Inggris menguasai Burma yang saat ini disebut Myanmar selama lebih dari 100 tahun (1824-1928), terjadi migrasi besar-besaran ke negara tersebut dari India dan Bangladesh.

Migrasi pengungsi rohingya ini mendapat respon negatif dari penduduk asli Myanmar.

Setelah Myanmar berhasil mendapat kemerdekaan, migrasi yang terjadi pada masa pemerintahan Inggris dinilai ilegal, sehingga mereka menolak kewarganegaraan Rohingya, dilansir dari Al Jazeera.

Hal ini menyebabkan banyak umat Buddha menganggap Rohingya sebagai orang Bengali dan menolak penyebutan istilah Rohingya atas dasar politik.

Tidak lama setelah mencapai kemerdekaan pada 1948, Myanmar mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang menolak kewarganegaraan orang Rohingya dan membiarkan mereka tidak memiliki kewarganegaraan.

Undang-undang tersebut membagi kewarganegaraan menjadi tiga tingkatan. Persyaratan dasarnya adalah memiliki dokumen bukti lahir di Myanmar sebelum 1948 dan fasih dalam salah satu bahasa nasional.

Ketidakmampuan warga Rohingya untuk memenuhi persyaratan tersebut semakin menyulitkan mereka.

Selama beberapa dekade, warga Rohingya terus mengalami kekerasan, penganiayaan, dan diskriminasi.

Mereka mendapat pembatasan dalam hak belajar, bekerja, bepergian, beragama, dan mengakses layanan kesehatan.

Sejak tahun 1970-an, sejumlah tindakan keras terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Pada 25 Agustus 2017, pasukan keamanan Myanmar memulai kampanye kekerasan sistematis terhadap penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine bagian utara, dikutip dari Save The Children.

Dalam kurun waktu dua minggu, hampir 300.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena muncul laporan mencekam terkait terbunuhnya ratusan orang, termasuk anak-anak.

Beberapa saat berikutnya, 700.000 warga Rohingya yang setengahnya adalah anak-anak melarikan diri dari Myanmar menuju Bangladesh.

Cox’s Bazar, distrik di Bangladesh dekat perbatasan Myanmar, dipenuhi dengan para pengungsi yang terpaksa tidur di lantai dan di jalan.

Kondisi pengungsi Rohingya kian memprihatinkan dengan kurangnya sumber makanan, air bersih, dan tempat tinggal.

Risiko akan eksploitasi, kekerasan, dan perdagangan manusia terus menghantui pengungsi Rohingya.

Kelompok etnis Rohingya saat ini berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa dan tersebar di berbagai negara Asia Tenggara.

Banyak dari mereka bahkan harus berjalan kaki selama berhari-hari di dalam hutan dan melalui perjalanan laut berbahaya untuk mencari tempat penampungan.

 

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *