Dana Wajib 5 Persen Dihapus, BPJS Kesehatan Merasa Terbebani – Liputan Online Indonesia

liputanbangsa.com – Penghapusan alokasi wajib (mandatory spending) sebesar 5 persen untuk kesehatan dari APBN dalam UU Kesehatan yang baru disahkan kemarin dinilai memberatkan keuangan BPJS Kesehatan, (11/7).

Pengajar Kesehatan Global di University of Manchester Gindo Tampubolon mengatakan dengan adanya mandatory spending, maka bisa dirumuskan layanan kesehatan yang terencana dan sistematis, terutama untuk upaya preventif pengendalian penyakit.

“Mereka yang berisiko sakit gawat segera dijaring dan dirawat agar penyakitnya tidak menjadi gawat, sehingga kelak menghabiskan anggaran bahkan nyawanya mungkin terancam. Tanpa patok anggaran tetap, anggaran yang ada bisa habis untuk upaya kuratif saja,” katanya pada Kamis (12/7).

Ia menjelaskan beberapa negara lain menetapkan patokan anggaran kesehatan seiring dengan perolehan pajaknya.

Di Inggris misalnya, alokasi dana program Pelayanan Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS) diatur dalam APBN.

“NHS ditunjang 8 persen ABPN Inggris sejak dibangun 75 tahun lalu. Tidak sempurna layanannya, tetapi jadi tulang punggung layanan utama di Inggris. Kalau BPJS Kesehatan diharapkan jadi layanan serupa, maka pencabutan mandatory spending akan sangat membebani layanan BPJS,” ungkapnya.

Pengesahan UU Kesehatan Tuai Pro dan Kontra, Bagaimana Dampaknya untuk Masyarakat? – Liputan Online Indonesia

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) juga mengkritisi penghapusan kewajiban tersebut.

Pendiri sekaligus CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengungkapkan masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021 dengan distribusi alokasi yang timpang.

“Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran,” katanya.

Ia juga mengatakan sektor kesehatan kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah.

“Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” ujar Diah.

 

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *