Mengapa RI Belum Punya UU Terkait Mobil Listrik? – Liputan Online Indonesia

JAKARTA, liputanbangsa.com – Pengembangan ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia ternyata belum memiliki Undang-undang (UU) khusus sebagai payung hukum.

Meski saat ini sudah ada berbagai aturan yang digunakan sebagai dasar hukum program-program terkait KBLBB seperti Peraturan Pemerintah (PP) No 74/2021 tentang Perubahan atas PP No 73/2019 tentang Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Ada juga aturan yang baru terkait KBLBB, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 38/2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023.

Sebelumnya juga telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan serta Instruksi Presiden (Inpres) No 7/2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bidang Percepatan Pengembangan Industri sektor ESDM Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan, sudah ada UU No 3/2014 tentang Perindustrian, UU UNo 3/2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan berbagai UU di sektor keuangan, serta sejumlah regulasi lainnya.

“Kalau mau ditarik ke baterai ada UU Minerba. Kalau ke industri ada UU industri terbaru. Insentif-insentif ada di UU sektor keuangan,” katanya pada Rabu (26/7).

“Rasanya kalau hanya KBLBB dibuat UU agak berat. Otomotif keseluruhan saja tidak didukung oleh sebuah UU,” tambah Agus.

Setiap kebijakan terkait insentif bisa menggunakan aturan yang sudah ada, dengan mengubah jenis kendaraan atau parameter yang sesuai jika diperlukan.

“Seperti industri otomotif pada umumnya,” katanya.

Terkait kekhawatiran akan terjadi perubahan kebijakan atau tidak ada jaminan keberlanjutan proyek saat pemerintahan berganti, Agus mengatakan, Indonesia sudah membuktikannya dengan pembangunan industri otomotif yang terus berkembang sampai saat ini.

“Otomotif sudah jalan 40 tahun lebih, Indonesia konsisten mendukung pengembangannya. Berapa rezim sudah lewat? KBLBB juga menurut saya akan sama, kecuali kalau memang pengembangan KBLBB di dunia adalah salah,” tegasnya.

“SK (aturan berlaku) itu ditandatangani oleh Kepala Negara kan? Sudah tentu dengan berbagai kajian perkembangan di luar maupun di dalam negeri,” pungkas Agus.

Sebelumnya, Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, pengembangan industri kendaraan listrik membutuhkan kepastian menyusul akan bergantinya pemerintahan, sehingga diperlukan payung hukum berkekuatan tetap berupa UU.

“Sekarang pemerintah memasuki injury time untuk memastikan keberlanjutan ekosistem EV (Electric Vehicle/ kendaraan listrik) di Indonesia melalui produk hukum yang berkekuatan tetap,” ujarnya.

“Jadi, penting untuk mengesahkan Undang-undang yang berkaitan dengan industri kendaraan listrik tersebut. Dengan mengesahkan undang-undang, kebijakan tersebut memiliki landasan hukum yang kuat dan akan lebih sulit untuk dibatalkan atau diubah oleh pemerintahan yang baru,” kata Yannes.

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *