Walhi : Kendaraan Listrik Bukan Solusi Atasi Polusi Udara Jakarta – Liputan Online Indonesia

JAKARTA, liputanbangsa.comWahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut bahwa kendaraan listrik tak akan menyelesaikan masalah polusi udara yang saat ini terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.

Ini karena polusi udara tak hanya bersumber dari transportasi saja, melainkan berasal dari banyak sektor seperti PLTU, industri manufaktur, dan kebiasaan masyarakat membakar sampah sembarangan.

“Menurut kami, tidak ada resep tunggal. Artinya, tidak ada jawaban dari polusi udara dengan hanya bertumpu kepada percepatan transmisi kendaraan berbasis bahan bakar fosil ke kendaraan berbahan listrik,” ujar Abdul Ghofar, Pengkampanye Polusi dan Urban Walhi Nasional, Selasa (15/8).

Belakangan, pemerintah memang sedang gencar-gencarnya mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan motor dan mobil listrik guna menangani masalah lingkungan, salah satunya menekan polusi udara di perkotaan.

Bahkan, pemerintah meluncurkan program subsidi mobil listrik sejak 1 April 2023. Subsidi itu berupa diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11% menjadi 1%.

Setiap pembelian mobil listrik juga akan disubsidi sekitar Rp 25 juta hingga Rp 80 juta. Untuk kendaraan roda dua, pemerintah mengeluarkan subsidi sekitar Rp 7 juta.

Selain itu, pemerintah juga berencana mengganti mobil dinas pejabat eselon I dan eselon II serta sepeda motor dinas dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik

Anggaran untuk tiap pembelian satu mobil listrik itu adalah Rp 966 juta. Sedangkan anggaran untuk motor listrik adalah Rp 28 juta per unit.

Nilai total subsidi sepeda motor listrik untuk periode 2023-2024 mencapai Rp 7 triliun.

Angka ini belum termasuk subsidi untuk mobil listrik yang nilai subsidi per unitnya jauh lebih besar.

Subsidi ini diberikan kepada produsen kendaraan listrik. Pemerintah menyebut, ini dilakukan untuk mengurangi polusi udara.

Dengan nilai fantastis mencapai Rp 7 triliun ini, Ghofar menilai pemerintah sebaiknya mengalihkan anggaran tersebut untuk program yang lebih berdampak besar, seperti memperbaiki dan memperluas sektor layanan transportasi massal.

“Kalau mau berfokus ke sektor transportasi tentu perbaikan transportasi publik, terintegrasi, mampu menjangkau kawasan-kawasan di pinggiran sehingga orang secara sukarela mau beralih ke transportasi publik.”

Alih-alih mensubsidi mobil atau motor listrik pribadi, pemerintah juga sebaiknya meremajakan transportasi umum, menggantinya dengan kendaraan listrik.

Bukan tanpa alasan, Ghofar menilai elektrifikasi kendaraan pribadi masih memiliki konsekuensi.

Libur Imlek, Diprediksi 771 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jabodetabek – Liputan Online Indonesia. Foto : Antara Foto/M Ibnu Chazar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menyebut bahwa saat ini jumlah kendaraan di Jakarta sekitar 24 juta unit, di mana 90 persennya adalah kendaraan roda dua.

Sebagian besar dari kendaraan tersebut masih menggunakan bahan bakar fosil.

“Kalau akselerasi didorong cuma diganti kendaraannya, dari kendaraan pribadi berbahan fosil ke listrik, maka jumlahnya akan tetap sama. Jumlahnya (kendaraan) kira-kira masih akan 24 juta dengan persentase yang mix, tergantung akselerasinya,” papar Ghofar.

Ini berarti masalah polusi udara mungkin akan sedikit tertangani, tapi masalah kemacetan tak akan selesai.

Belum lagi problematika bahwa 60 persen sumber listrik yang dipakai masyarakat saat ini berasal dari bahan bakar fosil.

Jika terjadi pergeseran konvensional ke kendaraan listrik secara masif dalam waktu bersamaan dan cepat, akan terjadi peningkatan konsumsi energi yang mayoritas masih bersumber dari fosil.

Artinya, emisi dari sektor transportasi memang akan berkurang, tapi emisi dari pembangkit listrik bakal jauh lebih tinggi.

Menurut Ghofar, ini hanya akan memindahkan masalah transportasi ke masalah pembangkit listrik.

“Kenapa 7 triliun itu tidak dialihkan untuk perbaikan transportasi publik termasuk menambah armada, menambah koridor, menambah jumlah halte, stasiun, peningkatan angka subsidi kendaraan publik, saya pikir itu lebih manfaat dan punya implikasi yang lebih cepat dibandingkan subsidi kendaraan bermotor listrik baik motor maupun mobil,” paparnya

Belum lagi masalah resource untuk ekosistem kendaraan listrik yang berasal dari proses pertambangan.

Kalau yang didorong akselerasi skala massal berbasis kendaraan pribadi, kata Ghofar, proses ekstraksi sumber daya alam bakal terjadi lebih masif di wilayah Indonesia lain.

“Jakarta-nya enggak rusak, tapi Sulawesi dan Maluku Utara akan terjadi percepatan akselerasi untuk industri mobil listrik maupun industri baterai,” kata Ghofar.

“Saya pikir itu perlu dipertimbangkan secara bijaksana. Akselerasi cepat itu juga punya konsekuensi apalagi kalau dia mendorong produksi satu komoditas dalam skala massal di waktu yang sangat cepat.”

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *