‘Kampung Janda Musiman’ Julukan Unik Desa Sumampir di Purbalingga, Ternyata ini Sebabnya – Liputan Online Indonesia

desaDesa Sumampir di Purbalingga Punya Julukan Unik 'Kampung Janda Musiman', Ternyata ini Sebabnya.Foto:dok.detik.com

PURBALINGGA, liputanbangsa.comDesa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga mendapat julukan unik sebagai ‘Kampung Jasa Musiman’. Julukan tersebut melekat di desa ini lantaran Banyaknya warga lelaki yang merupakan tulang punggung keluarga merantau, membuat mayoritas warga di desa ini dihuni oleh kaum perempuan.

Menurut Kaur Perencanaan desa setempat, Ivana (27) menjelaskan istilah penggunaan ‘Kampung Janda Musiman’ berawal dari adanya orang-orang kreatif yang membuat film di desanya.

“Sebenarnya tidak salah juga sih karena memang di sini kebanyakan wanita. Karena kalau dari desa kita mengundang aktivitas masyarakat di luar bulan-bulan yang mereka sedang merantau itu susah sekali. Jadilah istilah populernya kampung janda musiman,” jelas Ivana.

desa
Deretan rumah mewah milik warga Sumampir, Purbalingga.Foto:dok.detik.com

Berdasarkan data yang ia kelola, penduduk Desa Sumampir tercatat ada 9.854 jiwa. Jumlah penduduk yang merantau berada di kisaran 40 persen.

“Laki-lakinya ada 5.121 dan perempuan 4.733. Dahulu waktu (pandemi) COVID kita data yang pulang ada sekitar 1.500-an. Jumlahnya fluktuatif karena ada yang colong-colongan juga pulangnya. Jadi bisa diperkirakan jumlah perantaunya segitu,” ungkap Ivana.

Ivana mengatakan tren para lelaki merantau terjadi sejak 1980-an karena saat itu mayoritas warga yang bekerja sebagai petani tidak bisa menggarap lahannya karena kesulitan air.

“Sejak lahan pertanian tidak semakmur dahulu. Trennya sekarang kan kalau seumuran bapak saya sih masih bisa bertani, tapi kalau generasi bawahnya kan sudah malas bertani. Jadi mindsetnya mereka berangkat merantau,” terang Ivana.

desa
gotong royong semua warga Sumampir bersihkan pantai.Foto:dok.sumampir.id

Para perantau tersebut, menurutnya, sebagian besar mengawali dengan berdagang. Namun lambat laun mereka juga bekerja sebagai petani di lahan sawit.

Mereka mengawali perantauan dengan berangkat ke Pulau Sumatra. Termasuk ayah Ivana yang juga mantan perantau pada tahun 1990-an.

Ivana menyebut mereka yang merantau tidak serta merta pergi dengan waktu yang lama. Dalam setahun bisa berangkat sampai tiga kali.

“Tapi kalau masih awal-awal itu perkiraan yang jelas di rumah waktu bulan puasa dan lebaran. Di luar itu paling awal dan akhir tahun di rumah. Selain itu di perantauan,” tambahnya.
(heru/lbi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *