Rachmat Gobel Ungkap akan Banyak Uang Palsu Jelang Pemilu – Liputan Online Indonesia

liputanbangsa.comWakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mengingatkan kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang pemilu ini.

Hal itu ia sampaikan saat menutup Orientasi Calon Anggota Legislatif (Caleg) se-Provinsi Gorontalo.

Ia juga menyampaikan hal itu saat acara Sosialisasi Cinta Bangga Paham Rupiah yang diselenggarakan Bank Indonesia.

Gobel mengatakan, uang palsu masih merupakan ancaman tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

“Masyarakat agar hati-hati terhadap kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang pemilu ini. Nanti rakyat kecil yang dirugikan akibat peredaran uang palsu ini,” katanya, Sabtu (12/8).

Gobel mengingatkan hal itu karena kondisi ekonomi dunia, termasuk ekonomi Indonesia, sedang menurun.

Dalam situasi ini, katanya, selalu ada pihak-pihak yang mencari peluang untuk mencari keuntungan buat diri sendiri dengan merugikan orang lain.

Salah satunya dengan menyebarkan uang palsu. Di saat kondisi ekonomi menurun, katanya, rakyat kecil adalah pihak yang paling menderita.

Hal itu dimanfaatkan pihak lain dengan menyebarkan uang palsu.

“Jangan sampai rakyat kecil yang tak tahu apa-apa bisa dituduh sebagai pengedar uang palsu,” katanya.

Di masa menjelang pemilu ini, katanya, bisa saja ada pihak-pihak yang mengail di air keruh.

Pertama, ada pihak-pihak yang mencoba menciptakan keresahan dan instabilitas nasional dengan mengganggu ketenangan proses pemilu.

Kedua, ada pihak-pihak yang memperdaya atau bisa juga menjadi bagian dari peredaran uang palsu di kalangan pelaku politik.

“Semua kemungkinan bisa terjadi. Karena itu tingkat kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan. Cek dengan hati-hati jika menerima uang atau saat bertransaksi jual-beli,” katanya.

 

Marak Terjadi saat ‘Serangan Fajar’ di Hari Pencoblosan

Praktik money politics dalam pemilu, kata Gobel, masih banyak terjadi dalam politik Indonesia.

Terutama melalui serangan fajar di Hari H pencoblosan. Di saat seperti itu, peluang beredarnya uang palsu makin terbuka.

Para pelakunya bisa jadi tak menyadari bahwa itu uang palsu dan akhirnya kena tipu juga karena di momen pemilu tersebut kebutuhan uang tunai sangat tinggi.

“Ada kebutuhan untuk biaya operasional dan lain-lain. Nah, dalam situasi itu bagi orang yang punya niat jahat dijadikan peluang untuk mencari keuntungan finansial maupun untuk mengganggu stabilitas nasional,” katanya.

Di Gorontalo, katanya, fenomena money politics disebut sebagai politik mea-mea atau biu-biu yang merupakan sebutan untuk pecahan seratus ribu rupiah dan pecahan lima puluh ribu rupiah yang berwarna merah dan berwarna biru.

Gobel mengingatkan masyarakat untuk selalu melakukan tiga langkah untuk mengecek keaslian uang: dilihat, diraba, dan diterawang.

“Ini sesuai dengan anjuran Bank Indonesia. Lakukan prosedur tiga langkah pencegahan menjadi korban uang palsu.

Bagi pedagang akan lebih baik lagi jika memiliki alat ultraviolet untuk mengecek keaslian uang,” katanya.

 

Gobel Pastikan Tak Akan Lakukan ‘Serangan Fajar’

Pada kesempatan itu, Gobel mengatakan dirinya tak akan melakukan politik mea-mea. Ada lima alasan.

Pertama, tidak mau merendahkan harkat dan martabat manusia karena manusia sudah dimuliakan oleh Tuhan YME.

Bagi umat Islam, saat lahir diazankan di telinga kanan dan diqomatkan di telinga kiri. Bagi orang Kristen mereka sudah disucikan dengan cara dibaptis atau semacamnya.

Kedua, sebagai orang Islam dirinya diajarkan untuk berlaku tangan di atas (memberi) adalah lebih baik daripada tangan di bawah (menerima).

Politik mea-mea berarti mengajarkan masyarakat untuk mempraktikkan tangan di bawah.

Ketiga, politik mea-mea berarti merampas atau membeli hak politik warga. Oknum pelaku merasa sudah membeli hak politik warga dan warga merasa sudah menjual hak politiknya.

Dengan demikian, selama lima tahun oknum pelaku merasa tak perlu mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan masyarakat dalam menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Inilah yang merusak kehidupan politik bangsa dan negara. Padahal jika dibagi dalam lima tahun maka nilai politik uang itu tak ada artinya.

“Umumnya seratus ribu, atau katakan lima ratus ribu rupiah. Bagi per hari dalam lima tahun. Buat beli seliter beras pun tak cukup. Pemilu bukan praktik jual-beli tapi merupakan praktik perjanjian pertanggungjawaban,” katanya.

Keempat, kedua orangtuanya tidak mengajarkan praktik semacam itu. Kelima, money politics adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam pemilu.

“Mari kita jaga pemilu kita dengan politik bermartabat. Kita harus meninggikan nilai-nilai luhur bangsa untuk menjadi bangsa yang beradab. Kita bangun peradaban Indonesia dengan sebaik-baiknya,” katanya.

(ar/lb)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *