liputanbangsa.com – Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan Prakarsa menyoroti komitmen Mandatory Spending berdasarkan UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang mengharuskan alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan. Jika dilihat secara nilai memang sangat besar.
Namun ternyata, anggaran pendidikan tersebut tersebar di berbagai kementerian sehingga pengelolaannya bisa tumpang tindih.
Contohnya di Kementerian PUPR (0,51%), Kementerian Keuangan (0,49%), Kementerian Pertahanan (0,43%), Kementerian Perhubungan (0,36%), dan non-K/L sebesar 7,11%.
Peneliti The Prakersa Bintang Aulia Luthfi menjelaskan, anggaran pendidikan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga juga dapat mengakibatkan tidak efisiennya penggunaan anggaran pendidikan.
“Efisiensi anggaran menjadi sangat penting, di mana seharusnya anggaran pendidikan lebih difokuskan pada pengembangan program pendidikan di Kementerian Pendidikan dan transfer ke daerah daripada tersebar di kementerian lain yang turut membuat program pendidikan dengan biaya yang besar,” kata Bintang dalam keterangan tertulis, Senin (8/7/2024).
Bukan hanya itu, pendidikan yang dikelola selain kementerian pendidikan justru banyak dilakukan oleh swasta.
Indonesia memiliki jumlah siswa sekolah swasta yang besar. Menurut Badan Pusat Statistik (2023), sekitar 83% sekolah yang ada di bawah Kementerian Agama adalah sekolah swasta.
Pengelolaan di Swasta
Berbeda dengan sekolah swasta pada umumnya, sekolah swasta di Indonesia tidak hanya menjadi sekolah mewah bagi kalangan kaya saja.
Namun, banyak diantaranya yang merupakan sekolah swasta miskin dengan fasilitas yang sangat minim.
Sekolah swasta juga ada yang dikelola oleh organisasi masyarakat (seperti organisasi keagamaan misalnya).
“Banyaknya jumlah sekolah swasta di bawah Kementerian Agama tidak semuanya merupakan sekolah mewah. Banyak sekolah swasta juga melayani kelas miskin. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa privatisasi pendidikan tidak mengabaikan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat miskin dan tetap memberikan akses pendidikan yang berkualitas untuk semua lapisan masyarakat,” ujar Bintang.
Ketergantungan pada pendidikan swasta menimbulkan tantangan terkait pembiayaan, keterjangkauan, dan jaminan kualitas.
Beban biaya pendidikan juga membebani rumah tangga dan siswa, terutama mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang mampu.
“Pemerintah harus mengembangkan kriteria alokasi anggaran untuk proyek-proyek pendidikan dan memastikan investasi yang seimbang antara infrastruktur dan kebutuhan operasional untuk menghindari ketidaktransparanan dan ketidakefisienan dalam penggunaan anggaran. Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak dengan menaikan Tarif Minimum Pajak Global menjadi 25% untuk ASEAN sehingga dapat mendorong alokasi anggaran sektor ini lebih tinggi,” tutup Bintang.
Sebelumnya, Anggota Komisi X DPR Fraksi Demokrat Anita Jacoba Gah menjadi pembicaraan banyak orang usai memarahi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada Kamis, 6 Juni 2024. Anita Jacoba Gah mempertanyakan penggunaan anggaran oleh Kemendikbud selama ini.
Merespons pernyataan Anita Jacoba Gah tersebut, Bintang Aulia Luthfi peneliti The Prakarsa, juga turut mempertanyakan tentang alokasi anggaran pendidikan di Indonesia karena pengangaran yang tidak efektif dapat mengakibatkan naiknya biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat.
“Meskipun, Indonesia telah berkomitmen memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Tapi, jika penganggaran yang dilakukan tidak efektif justru dapat menjadi salah satu dampak terhadap naiknya biaya pendidikan.” Tegas Bintang.
Beberapa waktu lalu mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi memprotes perihal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT).
Kenaikan ini membebani masyarakat tergolong miskin dan menengah ke bawah.
“Jika pemerintah melonggarkan kenaikan UKT pada pihak universitas, tentu akan membebani kelas menengah. Selama ini bantuan lebih dominan diberikan pada masyarakat miskin, sedangkan untuk kelas menengah lebih banyak memasuki golongan diatas 1 & 2 untuk UKT. Padahal Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan terlepas apapun jenjang pendidikannya.” ucap Bintang dalam keterangan tertulis, Jumat (7/6/2024).
Pendidikan tinggi diperlukan oleh masyarakat kita terutama jika Indonesia ingin mendapatkan manfaat dari bonus demografi karena saat ini saja angkatan kerja yang berpendidikan tinggi hanya mencapai 10% di tahun 2022 (BPS, 2023).
“Indonesia tidak akan mencapai Indonesia Emas jika proporsi angkatan kerja saat ini hanya di diisi oleh pekerja yang berpendidikan rendah. Hanya 10% angkatan kerja yang menempuh pendidikan tinggi, bahkan, 9,9 juta anak muda saat ini berstatus NEET (Not in Education, Employment, and Training).” kata Bintang.
Ketergantungan pada Pendidikan Swasta
Sudah seharusnya pendidikan tinggi dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat miskin dan kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Bintang menambahkan, dari hasil penelitian The PRAKARSA tahun 2024 melihat adanya tren privatisasi dalam pendidikan.
Meningkatnya permintaan untuk pendidikan swasta di banyak negara di ASEAN, menunjukkan masalah bahwa sekolah umum kelebihan kapasitas dan di sisi lain tidak sedikit sekolah swasta yang berbiaya mahal.
“Ketergantungan pada pendidikan swasta menimbulkan tantangan terkait pembiayaan, keterjangkauan, dan jaminan kualitas. Perubahan ini membebani rumah tangga dan siswa, terutama mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang mampu.” tambah Bintang
Pemerintah harus memastikan komitmen anggaran pendidikan 20% benar-benar terealisasi. Bukan hanya itu, pemerintah harus memperhatikan kualitas, dampak dan distribusi yang seimbang antara infrastruktur dan kebutuhan operasional untuk menghindari ketidaktransparanan dan ketidakefisienan dalam penggunaan anggaran.
“Kedepannya pemerintah juga harus lebih transparan atas alokasi penggunaan anggaran pendidikan yang jelas untuk proyek-proyek pendidikan dan memastikan investasi yang seimbang untuk mengurangi potensi dugaan penyalahgunaan anggaran.” tutup Bintang.
(ar/lb)