Polisi Bentak Wakil Wali Kota Surabaya saat Eksekusi Lahan – Liputan Online Indonesia

SURABAYA, liputanbangsa.com Wakil Wali Kota Surabaya Armuji dibentak anggota polisi saat proses eksekusi putusan pengadilan atas lahan di kawasan Dukuh Pakis.

Ada 28 rumah warga yang dieksekusi.

Kabag Ops Polrestabes Surabaya AKBP Toni Kasmiri membentak Armuji yang datang ke lokasi bersama rombongan.

“Anda jangan menghalangi pemerintah, kenapa Bapak harus datang ke sini?” ucap Toni kepada Armuji, Rabu (9/8).

Armuji kemudian mencoba menjelaskan. Namun Toni terus mencecar politikus PDIP itu dengan nada tinggi.

“Anda ingin memprovokasi warga? Jangan begitu. Hargai upaya Pengadilan Negeri. Kami di sini hanya mengamankan,” ucapnya.

Toni lalu menanyakan dimana keberadaan Armuji saat perkara sengketa lahan masih dalam proses persidangan di PN Surabaya.

Usai perdebatan, Armuji bersama rombongan yang kebanyakan berasal dari kader PDIP itu kemudian memilih meninggalkan lokasi.

Eksekusi dilanjutkan oleh juru sita PN Surabaya dengan pengawalan polisi.

Kepada jurnalis, Armuji mengaku baru menerima aduan warga tentang rencana eksekusi, Senin (7/8).

Armuji lantas mengunjungi lokasi untuk menyampaikan aspirasi warga kepada juru sita.

Menurutnya, warga bersedia meninggalkan lahan sengketa bila telah memperoleh tempat tinggal baru.

“Kalau dieksekusi seperti ini, mereka tidak sempat mencari tempat. Ditempatkan di mana juga belum tahu,” ujar dia.

Armuji merasa terpanggil untuk membela warganya. Di samping itu, ia tetap menghormati proses hukum yang berjalan. Dia juga membantah bila disebut menghalangi eksekusi.

“Tidak ada yang menghalangi eksekusi, kami tahu itu domain pengadilan, domainnya orang yang berperkara menang. Tapi warga sebenarnya juga mau [pindah], tadi saya sama juru sita ngomong kalau (warga) ada yang mau pindah sendiri ya enggak usah terlalu dipaksakan dengan cara-cara seperti ini supaya barang-barangnya enggak rusak,” tutup Armuji.

Proses eksekusi 28 rumah itu merupakan kelanjutan dari sengketa lahan di Dukuh Pakis IV A, Surabaya. Eksekusi diwarnai ketegangan pihak keluarga dan juru sita serta aparat yang mengawal.

Salah seorang warga, Anik Suwardi mengatakan, sudah 40 tahun lebih dia tinggal di sana. Namun ia tak tahu menahu kalau ternyata tanah tempat rumahnya berdiri itu adalah tanah sengketa.

“Kami tidak terima. Padahal selama ini kami juga membayar pajak,” kata Anik, Rabu (9/8).

Anik dan warga lainya merasa tidak pernah ada sosialisasi eksekusi. Tiba-tiba saja Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya datang bersama 430 personel keamanan dari TNI-Polri.

Karena itu, saat eksekusi, terjadi ketegangan antara aparat dan warga. Mereka meminta penundaan agar ada waktu untuk mencari tempat tinggal pengganti.

Eksekusi 28 rumah ini bermula dari gugatan perdata yang dilayangkan Weni Oentari kepada mantan suaminya Sidik Dewanto, Harjo Soerjo Wirjohadipoetro serta Rudy Setiawan pada 2019 silam.

Weni menggugat lahan seluas 2.962 meter persegi tersebut. Menurutnya itu adalah harta gono gini miliknya dalam pernikahan dengan Sidik Dewanto selama 37 tahun.

Proses pembagian harta gono gini berupa lahan itu dicatatkan pada akta Nomor 18 di hadapan Natalya Yahya Puteri Wijaya pada 24 Mei 2011.

Namun bertahun-tahun kemudian, lahan milik Weni itu tak kunjung diserahkan dalam keadaan kosong oleh Sidik, bahkan sudah berubah menjadi permukiman.

Anik dan warga lainya merasa tidak pernah ada sosialisasi eksekusi. Tiba-tiba saja Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya datang bersama 430 personel keamanan dari TNI-Polri.

Sebab itu, saat eksekusi terjadi ketegangan antara aparat dan warga. Mereka meminta penundaan agar ada waktu untuk mencari tempat tinggal pengganti.

Eksekusi 28 rumah ini bermula dari gugatan perdata yang dilayangkan Weni Oentari kepada mantan suaminya Sidik Dewanto, Harjo Soerjo Wirjohadipoetro serta Rudy Setiawan pada 2019 silam.

Weni menggugat lahan seluas 2.962 meter persegi tersebut. Menurutnya itu adalah harta gono gini miliknya dalam pernikahan dengan Sidik Dewanto selama 37 tahun.

Proses pembagian harta gono gini berupa lahan itu dicatatkan pada akta Nomor 18 di hadapan Natalya Yahya Puteri Wijaya pada 24 Mei 2011.

Bertahun-tahun kemudian, lahan milik Weni itu tak kunjung diserahkan dalam keadaan kosong oleh Sidik, bahkan sudah berubah menjadi permukiman.

 

(ar/lb)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *