JAKARTA, liputanbangsa.com – Perjalanan warisan budaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan UNESCO mulai memasuki babak akhir.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon berencana mendaftarkan tiga kebudayaan tradisional Indonesia, yaitu Reog Ponorogo, kebaya, dan kolintang dari Sulawesi Utara, ke UNESCO pada Desember 2024.
“Program ini berfokus pada konservasi situs warisan budaya, pengakuan UNESCO, dan advokasi internasional. Memang kita ingin meningkatkan pengakuan UNESCO atau registrasi di UNESCO lebih banyak lagi,” kata Fadli Zon saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu, 6 November 2024, dilansir dari Antara, Kamis (7/11/2024).
Menurut Menbud, Indonesia diketahui memiliki kekayaan budaya luar biasa, dengan sekitar dua ribu elemen budaya yang telah diidentifikasi di tingkat nasional sebagai warisan budaya takbenda. Saat ini, Indonesia baru memiliki 13 elemen budaya yang terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya dunia takbenda.
Menurut dia, potensi budaya Indonesia sangat besar dan harus dioptimalkan agar lebih banyak warisan budaya lokal mendapat pengakuan internasional.
Selain pengakuan UNESCO, Menteri Fadli menegaskan komitmen pemerintah dalam melestarikan tradisi dan mendorong keterlibatan komunitas lokal dalam konservasi kebudayaan.
“Ini yang saya kira ingin kita tingkatkan, bagaimana kehadiran warisan budaya dunia kita yang begitu kaya, dan memang kekayaan budaya kita ini saya kira tidak ada bandingannya di dunia lain, di negara-negara lain, ini yang ingin kita optimalkan. Kemudian, revitalisasi tradisi lokal, melestarikan seni bahasa kearifan lokal yang mulai memudar, dan melibatkan komunitas lokal dalam kegiatan pelestarian,” urainya.
Indonesia Ajukan Kebaya Labuh dan Kebaya Kerancang
Kebaya Labuh disebut merupakan alkulturasi budaya Islam. (Dok: naskah perjalanan sejarah kebaya labuh)
Sebelumnya, Indonesia memutuskan mendaftarkan kebaya dalam join nomination sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, bergabung bersama empat negara lain, yaitu Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand.
Namun, Indonesia juga mengajukan kebaya labuh dan kebaya kerancang dalam single nomination.
Hal itu dimungkinkan lantaran kebaya labuh dan kebaya kerancang telah memiliki sertifikat Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sejak 2021.
Kini, pengajuan kebaya labuh dan kebaya kerancang ke UNESCO masih menunggu antrean karena masih ada beberapa warisan budaya tak benda lain.
Kebaya labuh masih terasa asing dan jarang terdengar. Mellyana Anggraini dari Komunitas Pelestari Kebaya Labuh, Perwakilan Dewan Kesenian Kepulauan Riau, mengungkap bahwa busana tersebut populer di masa Kerajaan Melayu Riau Lingga di era 1800-an.
Kala itu, kebaya yang masuk beradaptasi karena kultur Indonesia yang erat dengan agama Islam, sehingga ada perubahan gaya.
“Labuh artinya panjang dan longgar, alkulturasi kebudayaan Islam membuat kebaya saat itu harus menutupi aurat sehingga dibuat longgar dengan etika sopan santun,” ungkap Mellyana saat dihubungi Lifestyle Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin, 13 Februari 2023.
Pengajuan Kolintang ke UNESCO
Sementara, usaha mendaftarkan kolintang jadi salah satu warisan budaya takbenda dunia juga dilakukan dengan pola ekstensi.
Kemendikbud sejak beberapa tahun lalu mengajukannya bersama tiga negara, yaitu Burkina Faso, Mali, dan Pantai Gading karena ada kemiripan dengan instrumen mereka.
“Pola ekstensi ditempuh karena menurut pandangan UNESCO, budaya musik kolintang yang beragam terdapat di beberapa negara, termasuk Indonesia, dan bagi UNESCO, hal ini jadi prioritas mereka. Meski begitu, upaya ini tidak kemudian meninggalkan originalitas dari musik kolintang, yaitu kolintang kayu,” ujar musisi Dwiki Darmawan, Sabtu, 11 Maret 2023.
Melansir laman Kemdikbud, kolintang terbuat dari jenis kayu telur, bandaran, wenang, dan kakinik, tetapi bisa juga jenis kayu lain yang ringan namun bertekstur padat dan serat kayunya tersusun rapi membentuk garis-garis horizontal. Kata kolintang berasal dari bunyi: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada tengah).
Dahulu, dalam bahasa daerah Minahasa digunakan untuk mengajak orang bermain kolintang “mari kita ber-Tong, Ting, Tang” dengan ungkapan “Maimo Kumolintang” dan dari kebiasaan itulah muncul kolintang.
Meski alat musik tradisional ini berbahan dasar kayu, jika dipukul akan menghasilkan bunyi-bunyi yang nyaring dan merdu. Bunyi yang dihasilkan bisa mencapai nada-nada tinggi maupun rendah.
Pengusulan Dokumen Reog Ponorogo
Sementara, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, menyatakan berkas usulan atau dossier Reog Ponorogo sebagai warisan budaya takbenda (WBTB) telah diterima Sekretariat ICH UNESCO dan dinyatakan lengkap.
“Alhamdulillah dossier sudah dinyatakan lengkap, dan ini merupakan kabar gembira terkait proses ICH kesenian Reog Ponorogo,” kata Kepala Disbudparpora Kabupaten Ponorogo, Judha Slamet Sarwo Edi di Ponorogo, Kamis, 4 Januari 2024, dilansir dari Antara.
Judha mengatakan, kabar perkembangan berkas usulan kesenian Reog Ponorogo sebagai WBTB dari Bumi Ponorogo diterima langsung dari perwakilan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Pihaknya kini tinggal menunggu sidang UNESCO agar Reog Ponorogo menjadi warisan budaya tak benda yang diakui lembaga dunia tersebut pada akhir 2024.
“Kalaupun masih ada evaluasi atau revisi yang perlu diperbaiki kemungkinan tidak banyak, dan Insya Allah 2024 akhir nanti bisa disidangkan untuk ditetapkan sebagai ICH oleh UNESCO,” ujarnya.
Judha berharap ketika nanti sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO para seniman bisa mengembangkan Reog Ponorogo secara berjenjang.
“Seperti yang di berkas kami, bahwa ada reog dewasa, remaja anak dan PAUD,” ucap dia.
Â
(ar/lb)