liputanbangsa.com – Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda, mengatakan penipuan dalam sektor jasa keuangan, terutama yang berhubungan dengan keuangan digital, semakin marak di Indonesia.
Salah satu penyebab utama di balik semakin berkembangnya modus penipuan di bidang ini adalah masih rendahnya literasi keuangan.
“Penipuan jasa keuangan ini yang jelas sangat terkait dengan literasi keuangan. Literasi keuangan masyarakat kita masih cukup rendah. Terutama kalau kita lihat untuk penipuan-penipuan dibidang keuangan yang berkaitan dengan keuangan digital. Karena literasi keuangan kita juga masih rendah,” kata Nailul Huda, Kamis (28/11/2024).
Menurut Huda, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Kondisi ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh para penipu yang menawarkan iming-iming keuntungan yang tidak realistis, seperti “keuntungan 30-70 persen per bulan”.
Tidak Logis
Angka tersebut jelas tidak logis dalam dunia investasi yang sehat. Namun, banyak masyarakat yang terjebak karena ketidaktahuan mereka tentang produk keuangan digital yang mereka gunakan.
Mereka juga cenderung tergoda untuk menampilkan gaya hidup konsumtif atau “flexing” di media sosial, yang sering kali dimanfaatkan oleh pelaku penipuan.
“Hal ini menjadi celah bagi oknum-oknum penipu-penipu yang memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia yang buta jasa keuangan kita, keuangan digital kita, karena mereka pasti akan melihat oh ini karalteristik masyarakat Indonesia suka flexing, dan pada akhirnya ini akan menjadi pintu masuk utama para penipu,” ujarnya.
Minta Masyarakat Hati-Hati
Huda mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi atau data keuangan.
Meskipun banyak penawaran yang tampak menggiurkan, konsumen harus tetap berpikir secara logis dan rasional. Keuntungan di atas 10 persen per bulan sudah seharusnya dicurigai sebagai penipuan, karena hal ini jauh dari batas wajar dalam dunia investasi yang sah.
“Jangan mengumbar secara tidak langsung juga, masyarakat juga harus berpikir logis bahwa tidak mungkin untuk dia mendapatkan keuntungan di atas 10 persen, kalau di atas 10 persen bisa di anggap scam atau penipuan, itu yang harus dilakukan konsumen untuk tidak jadi korban jasa keuangan,” ujarnya.
Dalam konteks ini, pentingnya meningkatkan literasi keuangan digital menjadi sangat krusial.
Masyarakat perlu memahami dengan lebih baik bagaimana cara mengenali penawaran investasi yang aman dan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan yang sehat.
Peningkatan literasi ini tidak hanya akan melindungi konsumen dari kerugian finansial, tetapi juga akan memperkuat fondasi ekonomi digital Indonesia untuk berkembang dengan lebih baik.
(ar/lb)