6 Juta Data NPWP Bocor, Termasuk Milik Jokowi dan Menteri – Liputan Online Indonesia

ByTia Putri

19 September 2024 , , ,

JAKARTA, liputanbangsa.com Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara terhadap dugaan kebocoran data 6 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diperjualbelikan.

Termasuk milik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kedua putranya.

Sri Mulyani mengatakan, dirinya telah meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan pendalaman terhadap dugaan kebocoran NPWP tersebut.

“Saya sudah minta pak Dirjen Pajak dan seluruh pihak di Kemenkeu untuk lakukan evaluasi terhadap persoalannya. Nanti akan disampaikan penjelasannya ya, oleh pak Dirjen Pajak dan tim IT-nya,” ujar Sri Mulyani saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).

Adapun dugaan kebocoran data pajak ini disampaikan pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto melalui unggahannya di media sosial X.

Teguh menyebut, dalam kebocoran data NPWP tersebut terdapat data milik petinggi negara.

Dia ntaranya, Presiden Jokowi dan dua anaknya, yakni Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dan anak terakhirnya Kaesang Pangarep.

Selain itu, data Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi dan menteri lainnya juga termasuk dalam kebocoran data tersebut.

“Sebanyak 6 juta data NPWP diperjualbelikan dengan harga sekitar 150 juta rupiah. Data yang bocor di antaranya NIK, NPWP, alamat, no hp, email dll,” tulis Teguh dalam akun X.

“NPWP milik Jokowi, Gibran, Kaesang, Menkominfo, Sri Mulyani & menteri lainnya seperti Erick Thohir, Zulkifli Hasan, juga dibocorkan di sampel yang diberikan oleh pelaku,” tambahnya.

Teguh mengungkapkan, dari data yang bocor tersebut terdapat 10 ribu sampel yang berisi beberapa informasi pribadi seperti NIK, NPWP, nama, alamat, kelurahan, kecamatan, kabupaten kota, provinsi, hingga jenis wajib pajak.

Menindaki kejadian ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah melakukan pendalaman terkait adanya dugaan kebocoran 6 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

“Terkait dengan informasi kebocoran data yang beredar, saat ini tim teknis DJP sedang melakukan pendalaman,” Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti.

Data Pajak Petinggi Negara RI Diduga Bocor, Ada Milik Jokowi

Sebelumnya, Indonesia kerap kali menghadapi berbagai insiden kebocoran daya yang signifikan, utamanya di sektor administrasi Pemerintah.

Kali ini diduga terjadi kebocoran data 6 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kemudian dijual di Breach Forum.

Dugaan tersebut disampaikan pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto melalui unggahannya di media sosial X, dikutip Kamis (19/9/2024).

Teguh menyebut, dalam kebocoran data NPWP tersebut terdapat data milik petinggi negara. Di antaranya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan dua anaknya yaitu Wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dan anak terakhirnya Kaesang Pangarep.

Selain itu, data Menteri Keuangan Sri Muyani Indrawati dan Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi dan menteri lainnya juga termasuk dalam kebocoran data tersebut.

“Sebanyak 6 juta data NPWP diperjualbelikan dengan harga sekitar 150 juta rupiah. Data yang bocor diantaranya NIK, NPWP, alamat, no hp, email dll,” tulis Teguh dalam akun X.

“NPWP milik Jokowi, Gibran, Kaesang, Menkominfo, Sri Mulyani & menteri lainnya seperti Erick Thohir, Zulkifli Hasan, juga dibocorkan di sampel yang diberikan oleh pelaku,” tambahnya.

Lebih lanjut, Teguh mengungkapkan, bahwa dari data yang bocor tersebut terdapat 10 ribu sampel yang berisi beberapa informasi pribadi seperti NIK, NPWP, nama, alamat, kelurahan, kecamatan, kabupaten kota, provinsi, hingga jenis wajib pajak.

DJP Langsung Bertindak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang melakukan pendalaman terkait adanya dugaan kebocoran 6 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

“Terkait dengan informasi kebocoran data yang beredar, saat ini tim teknis DJP sedang melakukan pendalaman,” Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, Kamis (19/9/2024).

 

Hacker Bjorka Bobol Data Pajak Jokowi hingga Sri Mulyani, DJP Buka Suara

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (dok.istimewa)

Sebelumnya, Indonesia kembali dihadapkan dengan dugaan kebocoran data, kali ini terkait dengan 6 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diduga dijual di forum daring Breach Forum.

Dugaan ini diungkapkan oleh Teguh Aprianto, pendiri Ethical Hacker Indonesia, melalui unggahan di media sosial X pada Kamis (19/9/2024).

Dalam bocoran tersebut, hacker Bjorka membeberkan data milik sejumlah petinggi negara, termasuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan dua anaknya Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep diduga ikut tersebar.

Selain itu, data Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, serta beberapa menteri lain seperti Erick Thohir dan Zulkifli Hasan juga termasuk dalam sampel yang bocor.

Teguh menyebutkan, data-data ini diperdagangkan dengan harga sekitar 150 juta rupiah. Kebocoran data tersebut mencakup informasi sensitif seperti NIK, NPWP, alamat, nomor telepon, dan email.

Lebih lanjut, ada 10 ribu sampel data yang turut dibagikan oleh pelaku, berisi berbagai informasi pribadi termasuk wilayah tempat tinggal dan jenis wajib pajak.

 

Respons Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

Menanggapi insiden ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bergerak cepat untuk melakukan investigasi lebih lanjut. Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, mengonfirmasi bahwa tim teknis DJP telah memulai proses pendalaman terkait dugaan kebocoran data tersebut.

“Terkait dengan informasi kebocoran data yang beredar, saat ini tim teknis DJP sedang melakukan pendalaman,” ujarnya dalam keterangannya kepada, Kamis (19/9/2024).

DJP berkomitmen untuk segera menelusuri kebenaran dari laporan ini dan memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi akan dilakukan guna melindungi data wajib pajak yang ada.

Ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap keamanan data yang dipegang oleh pemerintah.

Kebocoran data NPWP ini menjadi perhatian besar, tidak hanya karena melibatkan data penting pejabat negara, tetapi juga karena potensi dampak yang lebih luas bagi masyarakat dan keamanan informasi di sektor administrasi publik.

 

(ar/lb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *