liputanbangsa.com – Kehadiran KPR syariah membantu nasabah mendapat cicilan tanpa bunga besar.
Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan KPR konvensional, KPR syariah memiliki cicilan bulanan yang lebih tinggi.
Padahal KPR syariah adalah Kepemilikan Pembiayaan Rumah (KPR) yang berdasarkan syariah Islam, tanpa riba, tidak ada kenaikan cicilan hingga bunga berganda.
KPR syariah menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan pembiayaan jangka pendek, menengah, atau panjang guna membiayai pembelian rumah tinggal, baik baru ataupun bekas dengan prinsip atau akad (murabahah) atau dengan akad lainnya.
Sebagai contoh untuk membuktikan besaran cicilan KPR syariah lebih besar dari KPR konvensional bisa terlihat dari hasil simulasi penghitungan berikut ini.
Misalnya ada sebuah rumah seharga Rp 500 juta, akan dibeli dengan mekanisme KPR syariah.
Setelah membayar uang muka (DP), nasabah sudah bisa mencicil pembayaran rumah dengan menanggung margin atau fixed rate 5% dan tenor atau masa mencicil 15 tahun (180 bulan).
Nasabah tidak memiliki utang cicilan lain. Dengan ketentuan tersebut, besar cicilan per bulan adalah :
DP: 10% x Rp 500 juta = Rp 50 juta
Total yang Harus Dicicil:
Rp 50 juta-Rp 100 juta = Rp 450 juta
((harga beli bank x (keuntungan bank x tenor)) + harga beli bank) : bulan tenor
= ((450.000.000 x (5% x 15)) + 450.000.000) : 180 bulan
= Rp 4.375.000 per bulan.
Sementara itu, untuk menghitung besaran cicilan KPR konvensional dengan harga rumah yang sama yakni Rp 500 juta dengan uang muka atau down payment (DP) sebesar 10%.
Nasabah dikenakan fixed rate 5% dan dan tenor atau masa mencicil 15 tahun (180 bulan). Nasabah tidak memiliki utang cicilan lain.
Dihitung menggunakan kalkulator KPR Bank Mandiri, konsumen harus membayar cicilan sebesar Rp 3.558.571 per bulan.
Menanggapi hal ini, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Irfan Syauqi Beik mengungkapkan besarnya biaya cicilan bank syariah tidak menentukan haram dan halalnya transaksi yang terjadi saat KPR syariah telah dimulai.
Cicilan awal KPR syariah lebih tinggi dari konvensional dikarenakan 2 hal. Pertama kapasitas kemampuan bank syariah menyediakan sumber dana murah yang masih terbatas.
Seperti yang diketahui Bank syariah sumber dananya berasal dari masyarakat dapat berupa giro, tabungan, deposito berjangka yang disebut dengan dana pihak ketiga.
“Selama ini sumber dana itu cukup mahal ya di bank syariah. Dari sisi DPK (Dana Pihak Ketiga), masih dominan deposito, misalnya deposito mudharabah. Deposito itu sumber dana yang cukup mahal. Beda kalau yang dominan tabungan wadiah, itu sumber dana yang murah,” kata Irfan saat dihubungi tim detikProperti.
Kedua, ukuran dari bank syariah diantara perbankan nasional. Ukuran ini menentukan tingkat efisiensi atau layanan yang bisa diberikan oleh bank syariah kepada nasabahnya.
Menurut Irfan hingga April 2024, baru 1 bank syariah yang bisa masuk ke dalam 10 besar bank besar di Indonesia.
“Nah, kenapa ukuran ini penting? Efisiensi itu tergantung pada ukuran. Sama saat kita bandingkan warung ritel dengan warung tetangga. Warung ritel itu tempatnya nyaman, fasilitas yang memadai. Dengan ukuran mereka yang besar mereka lebih efisien, bisa jual barang dengan murah. Dibandingkan dengan warung tetangga yang tidak ber-AC, barangnya lebih mahal,” jelas Irfan.
Di tengah keterbatasan tersebut, bank syariah tetap bisa menunjukkan keunggulannya dengan closed end fund yang lebih rendah dari bank konvensional pada tahun lalu.
Sebagai informasi, menurut OJK, closed end fund atau reksadana tertutup, yakni reksadana yang hanya bisa dijual kepada investor lain melalui pasar sekunder.
“Namun ini memang tergantung pada banknya. Dan memang baru satu bank saja yang bisa mencapai level ukuran yang lebih efisien. Tapi secara umum yang lain masih kalah efisien dari bank konvensional, itu yang membuat bank syariah terkesan lebih mahal dari bank konvensional. Tapi segmen market KPR bank syariah terus meningkat dari waktu ke waktu. Karena buat mereka aspek kehalalan, keberkahan sangat fundamental,” pungkasnya.
(ar/lb)