JAKARTA, liputanbangsa.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Tekonologi (Kemendikbud Ristek) tengah menjadi sorotan publik setelah Menteri Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 12 Tahun 2024.
Dalam peraturan itu disebutkan tentang Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah yang mengubah kegiatan Pramuka menjadi ekstrakurikuler tidak wajib diikuti, namun hanya bersifat sukarela.
Padahal sebelumnya, dalam Kurikulum 2013 menetapkan bahwa ekskul Pramuka adalah kegiatan wajib bagi setiap siswa pendidikan dasar dan menengah.
Lantas bagaimana nasib ekskul Pramuka setelah diberlakukannya Permendikbud 12/2024 tersebut?
Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan, mengaku heran dengan peraturan tersebut.
Padahal selama ini, kegiatan Pramuka itu telah memberikan kontribusi positif bagi pengembangan diri para siswa di sekolah.
“Kalau melihat situasi ini, harusnya Kementerian melihat bahwa sekarang soal karakter banyak masalah ya di sekolahan. Justru harusnya diperkuat, kegiatan Pramuka dan organisasi lain yang ada di sekolah itu, bukan malah diopsikan. Selama ini banyak yang postif dari Pramuka, mengapa harus diopsikan, harusnya tetap diwajibkan dan difasilitasi dengan baik. Kalau sekarang dianggap belum optimal, jangan-jangan memang fasilitasinya juga kurang optimal,” kata dia, Kamis (4/4/2024).
Ia mengungkapkan aturan ini akan memberikan angin segar bagi para siswa yang tak ingin mengikuti kegiatan tersebut.
Sebab ketika program ini diwajibkan, keikutsertaan para siswa disebut masih minim.
“Saya khawatir diwajibkan saja masih belum optimal ya apalagi diopsikan. Padahal kita ingin menemukan pendidikan karakter di sekolah. Jadi jangan lihat dari status hukum saja ya, melihatnya juga pada realitas hari ini. Kontektualisasinya seperti apa, tantangan ke depan seperti apa, apa yang dibutuhkan, kalau soal aspek hukum itu kan multitafsir,” kata dia.
Cecep menilai penerapan sistem optional dalam program Pramuka di sekolah akan berbeda dengan konsep dalam masyarakat.
Sebab dunia pendidikan merupakan bersifat edukasi yang harus diberikan perhatian secara khusus.
“Ini lingkupnya pendidikan, beda kalau orang di masyarakat (bentuk) suka relanya. Kalau di sekolah kan edukasi. Jadi otomatis saja siswa itu jadi anggota Pramuka, tetapi kalau berkegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya. Itu harus dibedakan. Semua siswa kan anggota OSIS, tapi kan tidak semua orang bisa beraktivitas di OSIS, tergantung minat bakat kegemarannya,” ujar dia.
Namun begitu, Cecep sepakat perlu adanya evaluasi terkait program Pramuka di sekolah. Peninjauan ulang itu tidak hanya mencakup aspek hukum saja, namun diteliti secara komprehensif.
“Saya kira soal Pramuka, harus ditinjau ulang, artinya apakah rumusannya sudah tepat atau belum. Dari berbagai aspek, jangan hanya dari aspek legal saja, itu kan salah satu tafsir. Jadi berbagai aspek bagaimana sih manfaatnya selama ini, terus juga sejarah kepanduan di Indonesia, jangan salah, turut berjuang untuk kemerdekaan,” terang dia.
Karenanya, ia menilai kurang tepat jika kegiatan Pramuka ini menjadi tak wajib diikuti siswa.
Padahal program Pramuka ini mengandung filosofi yang baik untuk didukung dengan fasilitas memadai.
“Anak-anak sekarang kalau misalnya (sekarang) minat kepanduannya kurang, apalagi (nanti) diopsikan? Jadi hemat saya, harus mengaca dulu bagaimana filosofis kepramukaan, dan mengoptimalkan organisasi-organisasi kepramukaan ini dengan berbagai fasilitas yang memadai, seperti diberi bantuan, misalnya anggarannya, aktivitasnya, segala macam,” jelas Cecep.
“Jadi jangan sampai tidak semua orang tidak suka Pramuka, misalnya alasannya gitu, Itu kan pada kegiatan. Tapi jiwa Pramuka Dasa Darma Pramuka, harusnya melekat ya, itu menurut saya, Dasa Darma Pramuka itu sesuai dengan Pancasila,” dia menegaskan.
Menurut Cecep, banyak kebijakan kementerian di bawah ‘Mas Menteri’ yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Hal ini lantaran kebijakan tersebut dibuat tanpa adanya kajian yang bersifat akademik.
“Harusnya kementerian sebelum membuat peraturan, lebih baik membuat semacam naskah akademiknya. Jadi nanti liatin aja naskah akademiknya kalau orang bertanya ini itu ini itunya. Dalam pembuatan naskah itu, harusnya juga melibatkan berbagai pihak termasuk Kwarnas. Nanti kalau ada pertanyaan lain, jawab aja Kwarnas. Jadi keliatannya kementerian kurang melakukan komunikasi itu,” ujar dia.
“Juga komunikasi publiknya kurang bagus. dalm pengertian, beberapa peraturan yang dikeluarkan kementerian selalu gaduh. Jadi akhirnya ada yang menafsirkan Pramuka tidak boleh. Padahal kan sebetulnya bukan itu, jadi optional saja. Jadi harusnya dibuat komunikasi yang bagus pada publik,” Cecep menambahkan.
Saat ini, para siswa harus didorong untuk mengikuti kegiatan Pramuka tersebut. Semua komponen dalam sekolah, memiliki peran penting dalam mewujudkan keikutsertaan siswa.
“Guru, Kepala Sekolah, Pembina dan Pimpinan OSIS sangat urgen untuk mendorong siswa siswinya mengikuti program itu,” dia menandaskan.
Sementara itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyoroti lima catatan penting mengenai status ekskul Pramuka yang tidak wajib diikuti oleh siswa.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim menuturkan, pertama, Ekskul Pramuka kini menjadi pilihan siswa, artinya jika ada siswa yang memilih mengikuti ekskul Pramuka, sekolah tetap wajib menyediakan kegiatan tersebut.
“Sekolah tetap harus menawarkan Pramuka sebagai salah satu pilihan ekskul bagi siswa, dengan memberi kebebasan kepada siswa untuk memilih atau tidak,” kata Satriwan Salim, Kamis (4/4/2024).
Kedua, dia melanjutkan, jika di sekolah sudah ada Organisasi Gugus Depan (Gudep) Pramuka yang aktif, siswa yang memilih mengikuti Pramuka kemungkinan akan menjadi Pengurus Gudep.
“Namun, sekolah tidak boleh lagi memaksa seluruh siswa untuk mengikuti Ekskul Pramuka, karena sifat organisasi Pramuka yang sukarela sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka,” kata dia.
Kemudian yang ketiga, sebagai negara hukum, P2G menegaskan perlunya merujuk pada UU Gerakan Pramuka yang menyatakan bahwa Pramuka adalah kegiatan yang bersifat sukarela.
“Meskipun ekskul Pramuka sekarang menjadi sukarela, P2G berharap sekolah tetap menawarkan dan menyediakan Pramuka untuk mengembangkan minat dan bakat anak dalam bidang kepanduan,” tambah Satriwan.
Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menambahkan, saat ini yang lebih penting adalah bagaimana sekolah dapat mengubah kegiatan Pramuka.
Membangun ekosistem pembelajaran Pramuka yang menyenangkan, penuh inovasi, dan anti-kekerasan.
“Kita harus mengubah Pramuka menjadi ekskul yang menarik, egaliter, dan anti-bullying agar siswa tertarik untuk bergabung tanpa harus diwajibkan oleh negara,” ungkap Iman.
Terakhir, P2G menegaskan bahwa keberadaan setiap kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sangat penting untuk menggali potensi siswa.
Sekolah harus mampu merancang kegiatan ekstrakurikuler yang menarik, bermanfaat, dan antikekerasan.
“Dengan ragam pilihan ekskul seperti Pramuka, Paskibra, Pecinta Alam, UKS, KIR, PMR, olahraga, seni, budaya, penelitian, digital, dan lainnya, sekolah dapat membentuk karakter Pancasila pada siswa melalui kegiatan pembelajaran ekstrakurikuler,” tutup Iman.
(ar/lb)