[ad_1]
Menjaga kesehatan adalah hal penting yang seharusnya menjadi prioritas utama manusia. Timbulnya berbagai masalah kesehatan menjadi momok utama yang harus diwaspadai. Tidak hanya pandemi COVID-19, pandemi senyap atau silent pandemic juga harus diwaspadai. Apa itu?
Dokter sekaligus Ketua Pusat Resistensi Antimikroba Indonesia (PRAINDO), Harry Parathon mengatakan pandemi senyap yang harus diwaspadai ini adalah resistensi antimikroba atau AMR.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan bahwa AMR adalah satu dari sepuluh ancaman kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini terutama jadi ancaman di negara berkembang.
Silent Pandemic yang Harus Diwaspadai
Setiap tahun jumlah kematian akibat AMR ini terus mengalami peningkatan. Maka tak heran angka 10 juta kematian di 2050 pun muncul yang bisa terjadi akibat AMR.
“AMR bahkan dapat menjadi penyebab 10 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2050. Malah bisa lebih cepat mungkin di 2035 sudah terjadi,” kata Harry dalam webinar tentang resistensi antimikroba, Selasa (29/11).
Kata Harry, masalah ini seharusnya menjadi perhatian utama selain Covid-19. Apalagi pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini juga masih tergolong minim. Padahal per 2019 lalu saja sudah ada 4,9 juta orang dari seluruh dunia yang meninggal akibat penyakit ini.
![]()
|
Resistensi antimikroba bisa muncul saat bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut merujuk pada tingkat kekebalan makhluk terhadap antibiotik yang ada di tubuh manusia.
“Sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian,” kata dia.
Resistensi antimikroba ini bisa muncul saat penggunaan antibiotik dilakukan sembarangan. Misalnya kelebihan atau kekurangan antibiotik.
Kuman atau bakteri yang harusnya terbunuh justru berkembang biak. Mereka bahkan bermutasi sehingga memperburuk kondisi kesehatan pasien.
![]()
|
Masalah ini bisa muncul jika penggunaan antibiotik dilakukan serampangan. Sayangnya sekitar 70-80 persen orang Indonesia kerap minum obat antibiotik untuk berbagai penyakit sederhana.
“Padahal tidak semua penyakit, perlu diobati dengan antibiotik. Bahkan tidak semua luka luar perlu antibiotik,” katanya.
Kata Harry, salah satu area yang saat ini memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka. Saat terjadi AMR maka prosedur manajemen luka akan terpengaruh.
Untuk penjelasan selengkapnya, lanjutkan membaca DI SINI!
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
(naq/naq)
[ad_2]
liputanbangsa.com