liputanbangsa.com – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker), merupakan respons pemerintah dalam menghadapi tantangan ketidakpastian kondisi global di tahun 2023 ini.
Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan, tantangan geopolitik akibat konflik Ukraina dan Rusia serta konflik lainnya yang masih terjadi, menyebabkan banyak negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
“Perppu Cipta kerja ini kan kelanjutan dari Undang-undang Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) diamanatkan untuk dilakukan perbaikan. Namun kita ketahui, saat sekarang ini dunia tengah menghadapi ketidakpastian, baik itu dari segi perang yang belum usai, kemudian pengaruh dari perubahan iklim dan bencana, kemudian krisis baik itu di sektor pangan, di sektor energi, maupun di sektor keuangan,” kata Airlangga dalam keterangan persnya, Selasa (10/1/2023).
Ketua KCP-PEN ini lantas mengutip pernyataan Managing Director Dana Monoter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), yang menyebut sepertiga negara di dunia sudah masuk dalam jurang resesi.
“Kita ketahui bersama, 19 negara sudah menjadi pasien IMF, dan masih ada lebih dari 30 yang juga sedang antre. Tentu di tengah ketidakpastian ini, perlu ada kepastian, salah satunya kepastian reform. Restrukturisasi yang dilakukan Indonesia yaitu dalam bentuk revisi dari 79 perundang-undangan,” ungkap Airlangga.
Tak sampai disitu, menurut Airlangga, tahun ini Indonesia juga sudah masuk dalam APBN normal, di mana defisit APBN sudah kembali dibatasi maksimal 3 persen.
Untuk menopangnya, lanjut Airlangga, salah satu yang menjadi bagian penting adalah terkait investasi yang ditargetkan mencapai Rp 1.400 triliun pada tahun 2023.
“Karena itu, Perppu Cipta Kerja dikeluarkan agar kepastian hukumnya jadi jelas,” tegas Airlangga.
Airlangga menambahkan, penerbitan Perppu Cipta Kerja mendesak, karena pemerintah perlu mengantisipasi berbagai risiko ketidakpastian global diantaranya terkait potensi resesi global, peningkatan inflasi hingga ancaman stagflasi.
“Beberapa negara berkembang sudah masuk IMF sudah lebih dari 30 mengantre jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat nyata,” tutup Airlangga. (dian/lbi)