liputanbangsa.com – Pemerintah akan memangkas harga rumah untuk rakyat miskin Rp10,5 juta per unit mulai Desember ini.
Pemangkasan akan dilakukan dengan menghapus pungutan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Untuk menghapus dua pungutan itu, mereka akan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait penghapusan retribusi
SKB ini ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo.
Adapun langkah penghapusan ini ditujukan untuk mempercepat realisasi program 3 juta rumah per tahun sebagai salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto.
“Tadi baru saja kami bertiga menandatangani Surat Keputusan Bersama yang intinya untuk mempercepat program pembangunan 3 juta rumah. Kita melihat bahwa ada beberapa yang bisa kira ringankan biayanya dan juga sekaligus mempercepat prosesnya,” ujar Tito dalam konferensi pers di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (25/11).
Tito menjelaskan kriteria rumah MBR yang mendapatkan pembebasan retribusi tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/Kpts/M/2023.
Peraturan itu mengatur batasan penghasilan serta luas bangunan untuk rumah umum dan rumah swadaya.
Berdasarkan aturan itu, penghasilan maksimal MBR diatur berdasarkan wilayah.
Untuk wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTT, dan NTP, kategori tidak kawin maksimal pendapatan Rp 7 juta per bulan, kategori kawin maksimal pendapatan Rp8 juta per bulan, kategori peserta Tapera maksimal pendapatan Rp8 juta per bulan.
Sementara bagi MBR di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, kategori tidak kawin maksimal pendapatan Rp 7,5 juta per bulan, kategori kawin maksimal pendapatan Rp10 juta per bulan, kategori peserta Tapera maksimal pendapatan Rp10 juta per bulan.
Aturan itu juga berlaku untuk pembelian dan pembangunan rumah luas 36 meter persegi untuk rumah umum dan rumah susun serta rumah luas 48 meter persegi untuk pembangunan rumah swadaya atau rumah tapai yang dibangun masyarakat.
Secara rinci, Tito memberi contoh harga rumah tipe 36 dapat dikurangi hingga Rp10,5 juta dengan adanya aturan ini.
“Nilainya untuk rumah ukuran 36 meter persegi itu lebih kurang Rp6,2 juta (BPHTB yang dibebaskan) kemudian untuk izin persetujuan PBG itu akan berkurang Rp4,3 juta (dibebaskan). Jadi untuk rumah tipe 36 itu bisa dihemat lebih kurang Rp10,5 juta,” ungkapnya.
Nantinya, SKB tersebut diteruskan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Adanya aturan itu juga secara otomatis mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebab, BPHTB dan PBG merupakan retribusi yang masuk dalam PAD.
“Saya juga sudah menyampaikan kepada teman-teman daerah supaya mereka mempelajari betul definisi masyarakat berpenghasilan rendah. Karena sebetulnya inilah PAD bagi mereka. Retribusi itu PAD tapi spesifik hanya untuk MBR,” tutur Tito lebih lanjut.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri PKP Maruarar mengatakan kebijakan penghapusan ini akan berlaku mulai bulan depan.
Menurutnya, program ini akan membantu menurunkan hambatan administratif yang kerap dihadapi MBR, sehingga target pemerintah untuk membangun 3 juta rumah bisa tercapai.
“Ini adalah kebijakan progresif yang berpihak pada rakyat kecil. Dukungan dari bupati, wali kota, dan gubernur. Proses ini tidak boleh lebih dari 10 hari karena keterlambatannya hanya akan menghambat rakyat kecil, tak sampai tahun depan, tapi Desember,” jelas pria yang akrab disapa Ara itu.
Selain itu, SKB juga mencakup percepatan penerbitan PBG. Proses yang sebelumnya membutuhkan waktu 28 hari kini dipersingkat menjadi hanya 10 hari.
Agar tahu saja, biaya PBG untuk membangun rumah bisa bervariasi, tergantung sejumlah faktor seperti luas bangunan, biaya administrasi, pengukuran dan pemetaan, konsultasi hingga retribusi daerah yang berkisar Rp 1 juta-Rp5 juta.
Sementara tarif BPHTB sendiri mencapai 5 persen dari nilai transaksi dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
(ar/lb)