liputanbangsa.com – Pewarta foto senior, Oscar Motuloh memulai karier sebagai wartawan tulis di kantor berita Antara.
Saat mengenang kembali alasannya memilih karier sebagai pewarta, pria kelahiran Surabaya ini hanya berkelakar bahwa ia ‘tersesat’ saja.
Dua tahun berselang, Oscar dipindah ke divisi foto, meskipun ia tidak memiliki latar belakang fotografi.
Walau sempat terkejut, Oscar tak banyak menebak apa alasan sang atasan memindahkan dirinya.
“Barangkali karena gondrong, pakaiannya sembarangan gitu ya udah. Jadi wartawan foto lah, ketika itu,” ujar Oscar di program Sosok detikcom.
Berbekal kamera di tangan, Oscar mengabadikan berbagai peristiwa, mulai dari unjuk rasa, turnamen olahraga, pentas seni, acara seremonial, hingga bencana alam.
Tak hanya sekadar dokumentasi, karya Oscar juga sarat akan pesan dan refleksi.
“Kita berdiri pada waktu memotret dalam sebuah pertikaian konflik A dan B, itu dari kita berdiri aja kita udah ketahuan di mana kita berada. Kepercayaan diri mereka sendiri, yang terlahir sejak muda, itu akan memberi sebuah warna terhadap pengertian tentang kebenaran yang mereka lihat di lapangan, gitu lho. Nah, ini yang menurut gua perlu ada di dalam setiap foto jurnalis, untuk mempunyai sikapnya sendiri,” tutur Oscar.
Oscar mengalami kendala saat memulai terjun di dunia fotografi jurnalistik.
Ia kesulitan untuk memperoleh referensi, karena saat itu buku-buku fotografi masih terbatas, mesin pencarian daring belum optimal, dan arsip nasional susah dicari.
Berangkat dari pengalaman itu, ia bersama Benny Soetrisno, Gunawan Wijaya, Jay Subyakto, Octa Christi, dan Rika Panda Pardede merintis Yayasan Riset Visual mataWaktu pada 2019.
mataWaktu membawa misi untuk mengarsipkan, meneliti, dan mempublikasikan seni visual, terutama di bidang fotografi.
Ini adalah usaha lain dari Oscar untuk memperkaya cakrawala generasi muda di bidang fotografi, agar tak mengalami kesulitan seperti dirinya di masa lalu.
“Pendidikan dalam pengertian yang coba kita tawarkan di mataWaktu ini. Gua nggak ingin yang muda-muda punya kesulitan yang sama. Zaman gua, YouTube masih belum terlalu. Google masih sedang mencari bentuknya pada waktu itu. Tapi, lama-lama kita bisa ngelihat, di saat mereka (generasi muda) bisa terbantu dengan itu, makin banyak imajinasi manusia, makin luas ide,” jelasnya.
Berkat sumbangsihnya di bidang fotografi jurnalistik, Oscar diberikan gelar Empu Ageng dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sebutan Empu Ageng dalam dunia seni setara dengan gelar doktor kehormatan (honoris causa, DR HC).
“Dari lubuk terdalam, gua mengucapkan terima kasih, tentu. Tapi bukan itu tujuan hidup gua. Gua cuma merasa beruntung, di kemudian hari, gua tetap berkecimpung dalam bidang ini. Karena di bidang inilah gua masih bisa ngerasakan diri gua, sebagai orang yang hanya di belakang layar,” ucap Oscar.
Kini meski telah pensiun dari bekerja penuh waktu, Oscar belum benar-benar ‘pensiun’ dari dunia fotografi.
Oscar menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan di Yayasan Riset Visual mataWaktu, mengkurasi foto dan menyelenggarakan pameran.
Sesekali, ia juga masih menyempatkan berbagi ilmu dengan anak-anak muda lewat lokakarya atau temu wicara.
“Ini kan sekarang mataharinya udah senja, nih. Gua menikmati apa yang udah ada. Gua mencintai orang-orang yang sudah memberi banyak kontribusi. Buat gua sendiri, nggak perlu terlalu serius-serius amat, gitu kan,” tandasnya.
Â
(ar/lb)