SEMARANG, liputanbangsa.com – Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa Tengah pada September 2024 mencapai 113,79.
Nilai tersebut tercatat paling tinggi untuk di pulau Jawa.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, Endang Tri Wahyuningsih menjelaskan, NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani, dibagi dengan indeks harga yang dibayarkan petani.
Dibeberkan dia, NTP pada September 2024 ini mengalami penurunan sebesar 0,01 persen dibandingkan Agustus 2024.
Namun angkanya masih tertinggi dibandingkan lima provinsi lain di Jawa.
Sebagai informasi, NTP Jawa Timur sebesar 111,61, Jawa Barat (111,98), DIY (104,76), Banten (109,29), dan DKI Jakarta (106,59).
“Meskipun kita sedikit menurun, tetapi Jawa Tengah masih memegang nilai yang tertinggi. Memang masih di bawah nasional tapi dibandingkan dengan provinsi yang lain alhamdulillah kita masih tertinggi 113,79,” kata Endang dalam rilisnya didampingi Sekretaris Daerah Jateng, Sumarno, di Aula Kantor BPS Jateng, pada Senin, 1 Oktober 2024.
Endang menjelaskan, untuk indeks harga yang diterima petani Jateng pada September 2024 adalah 149,71 atau turun 0,04 persen.
Komoditas penyumbang penurunannya adalah cabai merah, cabai rawit, kentang, dan ketela pohon, sedangkan indeks harga yang dibayar petani sebesar 122,78 atau turun 0,03 persen, dengan komoditas penyumbang penurunan yaitu cabai merah, bensin, cabai rawit, jeruk, dan daging ayam.
Penurunan NTP juga terjadi pada tanaman hortikultura.
Nilainya sebesar 110,11 atau mengalami penurunan dibandingkan pada Agustus 2024 sebesar 118,06.
Demikian pula nilai tukar usaha pertanian (NTUP) di Jawa Tengah pada September 2024 juga mengalami penurunan, nilainya dari 116,22 pada Agustus 2024 menjadi 115,91 atau turun 0,27 persen.
“Alhamdulilah tidak ada yang di bawah 100, sehingga para petani masih untung dari usahanya, meskipun NTUP mengalami penurunan 0,27 persen,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Jateng, Sumarno mengatakan, NTP selalu berhubungan dengan pangan, sehingga semua pemerintah daerah bersama stakeholder terkait harus dapat menjaga keseimbangan antara NTP dengan inflasi yang disebabkan dari sektor pangan.
“Karena kalau inflasi tinggi, maka nilai tukar petani juga naik. Maka dua-duanya ini harus kita jaga, sehingga kita harus terus memantau kondisi dampak dari inflasi dan nilai tukar petani,” jelas Sumarno.
(ar/lb)