liputanbangsa.com — Situasi perang saudara antara pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan militer negara Afrika utara pada pekan lalu diceritakan oleh salah satu warga negara Indonesia (WNI) di Sudan. Ia menjelaskan betapa mengerikannya peristiwa perang tersebut.
Sabiq yang merupakan pelajar Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan di University of Africa di Khartoum menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Kala itu ada peluru yang menyasar hingga mengenai kamp tempat mahasiswa Indonesia berlindung. Bahkan kampusnya sendiri sempat menjadi lokasi pertempuran sengit RSF dan militer Sudan.
“Kalau terdampak Alhamdulillah enggak, cuma peluru nyasar saja. Hampir 3×24 jam kita dengar suara tembakan ledakan dan suara pesawat tempur lewat,” kata Sabiq dikutip dari CNNIndonesia.com.
“Kemarin ada peluru yang jatuh ke tempat pengungsian kita dan mengenai teman saya. Alhamdulillah dia tidak kenapa-kenapa, hanya luka ringan. Mungkin karena (peluru) sebelumnya sudah mantul ke objek lain,” paparnya menambahkan.
Sejumlah 12 mahasiswa WNI berlindung di dalam kamp, menurut mahasiswa yang telah tinggal selama tujuh tahun di Sudan tersebut. Sabiq juga menuturkan listrik masih padam di tempat tinggalnya dan kamp pengungsian.
Pemadaman listrik tersebut belum jelas apa yang menjadi penyebabnya. Pasalnya jaringan listrik di ibu kota padam sejak perang kota berlangsung.
“Jadi kami inisiatif membuat beberapa titik kumpul pengungsian supaya lebih mudah mengorganisirnya,” kata Sabiq.
“WNI disini membutuhkan tempat evakuasi yang lebih layak seperti ada akses untuk listrik dan air yang lebih mudah. Untuk seperti bahan-bahan pokok sudah ada relawan dari mahasiswa yang mulai bergerak,” ucapnya menambahkan.
Perang tersebut mengakibatkan sebagian besar warga takut untuk pergi ke jalanan umum.
Adapun penggalangan dana yang dilakukan oleh para WNI untuk diserahkan ke sejumlah titik pengungsian. Bantuan dana tersebut dijelaskan Sabiq sudah terkumpul sebanyak Rp30 juta.
“Kami di sini kesulitan untuk mencari bahan makanan pokok terutama yang berada di dalam kampus dan asrama karena harus melewati jalan besar dan banyak warung dan pusat perbelanjaan yang tutup,” ujar Sabiq.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Sudan yang telah berkoordinasi dengan para WNI mengimbau agar WNI tetap tenang dan terus berada di dalam rumah untuk memantau situasi dan mengupayakan bantuan logistik.
Saat ini mahasiswa lain yang tinggal di asrama telah dipimdahkan ke satu gedung oleh pihak berwenang perguruan tinggi tersebut.
Sementara itu, beberapa bandara di Khartoum dan Merowe sudah dikontrol oleh RSF, bahkan Istana Kepresidenan pun telah dikuasai. Mereka juga mengaku mengambil alih kediaman Panglima Angkatan Darat Sudan Jenderal Abdel Fattah Al Burhan.
Balasan pun diberikan oleh Angkatan Udara Sudan yang menyerang beberapa markas RFS di kamp Tiba dan Soba, Khartoum. (afifah/lbi)