liputanbangsa.com – Kita pasti tak heran jika sebuah film memiliki pesan berbau SARA dan justru dianggap melecehkan etnis atau agama tertentu berimbas pelarangan tayang, namun bagaimana jika film komedi yang hanya mengeksplorasi dan mengejek industri fashion yang dicekal.
Hal ini terjadi pada Zoolander, film yang dibintangi Ben Stiller yang dirilis pada 2001 di mana ia berperan sebagai Derek Zoolander, seorang model pria yang sempat menjadi supermodel namun perlahan kehilangan kariernya.
Pada film tersebut diceritakan jika Industri fashion khawatir dengan Perdana Menteri Malaysia yang diperankan oleh Woodrow Asai, ingin membuat perubahan signifikan dengan menghilangkan tenaga kerja di toko pakaian, yang berarti industri fesyen akan merugi jutaan dolar.
Beberapa pemimpin industri terkemuka memutuskan bahwa Mugatu (Will Ferrell) akan mencuci otak Derek Zoolander untuk membunuh sang Perdana Menteri ketika dia mendengar ucapan ‘Relax’ di peragaan busananya yang akan datang.
Sementara itu, reporter majalah Time yang meliput pekan mode, Matilda Jeffries (Christine Taylor), menulis artikel kritis tentang Derek yang membuatnya mempertanyakan kehidupan dan kariernya.
Ketika dia mengetahui bahwa perdana menteri Malaysia akan menghadiri peragaan busana, dia tertarik dan mencari informasi lebih lanjut.
Cuplikan adegan dalam film Zoolander.Cuplikan adegan dalam film Zoolander. Foto: Dok. Paramount Pictures
Melalui model tangan yang tidak puas, J.P. Prewitt (David Duchovny), dia mengetahui alur ceritanya. J.P. menjelaskan kepada Derek dan Matilda bahwa seorang model laki-laki telah berada di balik pembunuhan politik sepanjang sejarah karena kelincahan dan kemampuan mereka untuk melakukan apa yang diperintahkan tanpa ragu.
Zoolander menambah daftar panjang film yang dilarang tayang di Malaysia seperti, The Wolf of Wall Street, Schindler’s List, Prince of Egypt dan Lightyear.
Bila beberapa film dianggap mengandung adegan-adegan seperti penggunaan narkoba atau pun homoseksual, pada film garapan Ben Stiller itu mereka justru tak setuju dengan citra yang ditampilkan dari negaranya.
Apalagi ada adegan pembunuhan Perdana Menteri mereka yang membuat pemerintah meminta untuk penghapusan adegan tersebut (dan tentunya tidak bisa).
Bisa dibayangkan jika adegan itu dihapus maka tentunya apa yang akan kita saksikan dari film tersebut jika premis utamanya malah dihilangkan.
Anehnya film ini juga ikut-ikutan dilarang tayang di Singapura. Mereka sepertinya cukup kecewa dengan penggambaran yang tidak akurat tentang negara tetangganya sebagai negara yang bergantung pada pekerja yang bekerja keras dengan pemimpin yang tidak sadar, dan memaksakan untuk memasukan jokes tentang seks dan narkoba, agar tampak seperti sebuah hal yang lumrah di sana.
Pelarangan ini tidak menghentikan kesuksesan film tersebut di banyak negara lain di seluruh dunia, karena film tersebut berhasil meraup $60 juta atau sekitar Rp 961 miliar di seluruh dunia.
Tampaknya kebanyakan orang melihat film itu apa adanya: sebuah sindiran dengan proporsi yang epik.
Â
(ar/lb)