liputanbangsa.com – Kata ‘hilal’ seringkali kita dengar saat penentuan awal ramadhan atau lebaran. Hilal itulah yang bakal dicari dan ditentukan dalam sidang Isbat penentu awal 1 Ramadan 1444 Hijriah pada hari ini, Rabu (22/3/2023). Lalu apa sebenarnya hilal itu? Simak penjelasan pakar astronomi soal itu.
Astronom dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang menyebut hilal sebagai “bulan sabit muda”.
Peneliti astronomi dan astrofisika lainnya, Thomas Djalaludin, mengatakan hilal merupakan bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib yang jadi penanda awal bulan hijriah.
Kalender Hijriah, yang dipakai dalam penanggalan Islam, sendiri dihitung berdasarkan peredaran Bulan. Fasenya bermula dari bulan mati, sabit tipis, berkembang menjadi purnama, hingga kembali sabit dan hilang dari langit.
Hilal menjadi bukti paling kuat telah bergantinya periode fase bulan yang didahului bulan sabit tua dan bulan mati. Dalam konteks awal bulan puasa, itu menjadi bukti bergantinya bulan Syakban ke Ramadhan.
Hilal itu didapat lewat metode perhitungan (hisab) dan pengamatan langsung (rukyat).
Sedangkan menurut peneliti Astronomi Senior Planetarium Jakarta Widya Sawitar menjelaskan awal bulan baru (new moon) kalender hijriah ditentukan oleh proses ijtimak atau konjungsi.
Ijtimak sendiri, kata dia, diartikan sebagai momen bertemunya posisi Bulan dan Matahari dalam satu garis edar.
Bulan baru juga bisa disebut sebagai Anak Bulan (sebutan lain dari hilal). Masalahnya, Anak Bulan ini berupa bulan sabit yang amat tipis. Anak Bulan baru bisa diobservasi di usia 8 jam 22 menit 3 detik.
“Sains dalam hal ini astronomi lebih pada penentuan New Moon, artinya apakah tahap ijtimak di mana dapat disebut tahap untuk menentukan apakah proses dari tahap Bulan Mati (ijtima) ke arah Bulan Baru (New Moon) sudah terjadi atau belum,” ujar Widya.
“Kalau sudah [terjadi] artinya positif [bulan baru],” lanjutnya.
Lalu bagaimana dengan kondisi hilal di Indonesia yang akan diamati oleh Kementerian Agama hari ini.
Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengatakan secara hisab posisi hilal di Indonesia saat sidang Isbat itu sudah memenuhi kriteria baru yang ditetapkan MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
“Pada hari rukyat, 29 Syakban 1444 H, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia sudah di atas ufuk, berkisar antara 6 derajat 46,2 menit sampai dengan 8 derajat 43,2 menit, dengan sudut elongasi antara 7,93 derajat sampai dengan 9,54 derajat,” jelasnya.
“Artinya, secara hisab, pada hari tersebut posisi hilal awal Ramadan di Indonesia telah masuk dalam kriteria baru MABIMS,” imbuh dia.Cara Penentuan Hilal
Penentuan hilal sebagai bulan baru kalender hijriah ditentukan tinggi hilal yang teramati.
Dikutip dari situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tinggi hilal adalah besar sudut yang dinyatakan dari posisi proyeksi Bulan di Horizon (cakrawala) teramati hingga ke posisi pusat piringan Bulan berada.
Tinggi hilal positif berarti Hilal berada di atas horizon pada saat Matahari terbenam. Tinggi hilal negatif berarti hilal berada di bawah horizon pada saat Matahari terbenam.
Abdul Mufid, Postdoctoral pada kelompok riset Astronomi dan Observatorium di Pusat Riset Antariksa BRIN, menyebut ada perbedaan dan perubahan kriteria ketinggian hilal.
Kriteria lama mengacu pada tinggi hilal minimal 2 derajat dan jarak sudut Bulan-Matahari (elongasi) minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8 jam.
Sementara, kriteria baru, berdasarkan kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.
Kriteria MABIMS ini, kata Mufid, baru diterapkan di Indonesia pada 2022, yakni saat penentuan awal Ramadan dan Lebaran 1444 H.
Selain itu, ada perbedaan pula dalam hal luas wilayah berlakunya hilal itu. Mufid menyebut pendapat ahli fikih (fukaha) terbagi menjadi dua pandangan besar, yakni rukyat global (mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali), dan rukyat lokal, sekitar radius 120 km (Syafi’i).
“Dari pandangan fikih dimungkinkan wilayah keberlakuan kalender hijriyah bisa bersifat global, walau keberlakuan lokal masih berlaku di banyak negara yang terkait juga dengan pandangan untuk pembuktian secara rukyat (pengamatan) hilal,” jelas Mufid.
(heru/lbi)