JAKARTA, liputanbangsa.com – Presidential Threshold adalah aturan yang mengharuskan partai politik atau koalisi partai memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional dalam pemilu legislatif untuk dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Aturan ini bertujuan memastikan hanya partai dengan dukungan besar yang bisa mengusung kandidat.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan untuk menghapus aturan ini.
Langkah ini dianggap revolusioner dan menandai perubahan besar dalam sistem pemilu di Indonesia.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menyebut keputusan ini sebagai langkah logis.
Menurutnya, ketika pemilu presiden dan legislatif diselenggarakan serentak, keberadaan Presidential Threshold menjadi tidak relevan.
Ia menyoroti ketidakkonsistenan dalam sistem pemilu sebelumnya yang masih mempertahankan ambang batas meski kedua pemilu sudah digabungkan.
“Kalau pemilu diserentakkan, seharusnya tidak ada Presidential Threshold. Ini menjadi aneh kalau masih dipertahankan,” jelas Jeirry.
Lebih jauh, Jeirry mengingatkan bahwa keputusan MK ini harus dijadikan acuan untuk revisi Undang-Undang Pemilu yang direncanakan tahun ini.
Ia menekankan pentingnya membuat regulasi pemilu yang bebas dari kepentingan kekuasaan dan lebih berfokus pada keadilan dan pengalaman lapangan.
Keputusan ini juga menyoroti pentingnya proses verifikasi partai politik.
Menurut Jeirry, selama ini verifikasi sering diwarnai dugaan manipulasi politik uang, sehingga partai kecil dengan dukungan lemah tetap lolos.
Ia menegaskan, proses yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan partai benar-benar memiliki basis dukungan di masyarakat.
“KPU harus memastikan hanya partai yang kuat dan diterima publik yang bisa ikut pemilu. Ini juga tanggung jawab partai untuk lebih serius mengelola organisasinya,” tambahnya.
Perbedaan Pendapat di MK
Meski banyak yang mendukung, keputusan MK ini juga menuai dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.
Mereka menilai para pemohon yang mengajukan uji materi tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk membawa perkara ini ke MK.
Keputusan ini memang membelah opini publik dan para pengambil kebijakan.
Namun, satu hal yang pasti, penghapusan Presidential Threshold membuka jalan bagi lebih banyak partai untuk mengajukan kandidat presiden, menciptakan kompetisi yang lebih terbuka dan demokratis di masa depan.
Penghapusan Presidential Threshold oleh MK menjadi titik balik penting dalam sistem demokrasi Indonesia.
Dengan regulasi baru ini, diharapkan proses pemilu menjadi lebih inklusif dan mencerminkan aspirasi rakyat.
Meski ada tantangan dalam implementasinya, langkah ini menjadi awal baru bagi politik Indonesia yang lebih kompetitif dan transparan.
(ar/lb)