liputanbangsa.com – Pengusaha besi-baja dan amonia asal Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan dari pasar ekspor di Eropa Barat akibat pemberlakuan pajak karbon alias CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism).
CBAM adalah aturan yang dibuat Uni Eropa untuk mengantisipasi kebocoran emisi karbon.
Secara umum, aturan tersebut mengatur agar perusahaan Uni Eropa memberi sertifikat penurunan emisi karbon melalui pasar karbon saat mengimpor produk dari luar wilayah Uni Eropa.
Aturan ini pada dasarnya bersifat punitif terhadap produk yang masuk pasar Uni Eropa dan dianggap masih diproses dengan meninggalkan emisi karbon tinggi.
Uni Eropa beralasan aturan ini dibuat untuk menyesuaikan dengan pasar negara anggotanya yang diikat dengan undang-undang ketat soal upaya dekarbonisasi dan target net zero.
Pemberlakuan aturan ini pada awal 2026 sulit diikuti dengan persiapan yang cukup bagi pengusaha Indonesia, karena berbagai alasan.
Temuan studi CSIS menyatakan dari enam komoditas yang terancam kena pajak karbon ini, besi baja dan amonia adalah yang paling awal terdampak.
“Pertama karena memang kebanyakan produsen di Indonesia belum mampu melakukan transisi ke produksi hijau dengan minim karbon. Alasannya ada macam-macam,” kata peneliti CSIS Ardhi Wardhana di arena COP29, Baku, Senin (18/11).
“Tapi juga seperti besi dan baja, itu ada materialnya dari bahan berjejak karbon tinggi misalnya batubara dan nikel. Nah ini belum ada produk subtitusinya yang lebih hijau,” lanjut dia.
Berdasarkan penelitian CSIS butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan Uni Eropa sehingga ketika aturan pajak karbon berlaku Januari 2026, produk Indonesia kemungkinan tak bisa mengejar ketentuan itu.
Kritik dari RI
Uni Eropa sudah menggagas CBAM sejak 2020. Saat memutuskan pemberlakuan aturan sanksi karbon ini, Uni Eropa memberi waktu sosialisasi selama tiga tahun terhitung sejak 2023-2025.
Utusan Khusus Presiden untuk Perdagangan Internasional Marie Elka Pangestu pun mengkritik aturan dari Uni Eropa tersebut.
“Kita memahami prioritas mitra dagang dan urgensi isu perubahan iklim. Mekanisme CBAM disiapkan untuk menjalankan perdagangan yang dapat mengurangi carbon leakage. Tetapi, dalam pelaksanaannya, ada banyak hal yang harus disiapkan dan dipahami bersama sehingga pada saat pelaksanaan, industri Indonesia dapat bersaing,” kata Marie.
“Dalam konteks WTO misalnya, jika terdapat aturan baru dalam perdagangan internasional selalu diikuti training dan capacity building bagi negara-negara berkembang, sehingga para pihak punya kesepahaman sama.
CBAM harusnya juga begitu. Di Indonesia, kita ingin industri betul-betul paham dan siap dengan tantangan CBAM,” kata Marie yang datang ke COP29 mendampingi Utusan Khusus Iklim Hashim Djojohadikusumo.
Salah satu insentif untuk mempercepat pelaku industri agar segera bertransisi ke praktik nol karbon menurut CSIS antara lain adalah dengan menggelontorkan insentif.
“Tidak ada cara lain. Kami sarankan subsidi supaya dunia nusaha bisa fokus di investasi untuk membangun fasilitas pemrosesan baru yang lebih hijau. Yang kedua, naikkan harga karbon (carbon pricing),” kata Adhi Wardhana.
Sisi negatif dari naiknya harga karbon adalah berkurangnya nilai kompetitif produk yang dihasilkan Indonesia.
Namun ini dianggap perlu dilakukan karena selisih harga karbon Indonesia dan EU terlalu tinggi.
(ar/lb)