liputanbangsa.com – Manusia diciptakan tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Ibadah semestinya diniatkan dengan ikhlas.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis:
إِنَّ اللهَ تعالى لَا ينظرُ إلى صُوَرِكُمْ وَأمْوالِكُمْ ، ولكنْ ينظرُ إلى قلوبِكم وأعمالِكم
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan hartamu, tetapi Dia hanya melihat hati dan amalmu“. (HR Muslim)
Namun demikian, tak ada manusia yang lepas dari khilaf. Terkadang, niat ibadah itu ternodai dengan sifat riya yang seharusnya ditujukan pada Allah, tapi malah dipamerkan pada manusia.
Lantas bagaimana hubungan ibadah dengan sifat riya? Apa jadinya ibadah jika disertai riya? Berikut penjelasannya.
3 Bentuk Riya dalam Ibadah
Pertama, motivasi ibadah seseorang yang murni ingin dilihat manusia. Maksudnya, orang yang melakukan sholat karena ingin dilihat orang lain agar dipuji. Contohnya, menantu yang sholat dengan niat ingin dipuji mertua. Nah, riya yang disengaja seperti itu bisa membatalkan ibadah.
Kedua, riya yang menghampiri di tengah-tengah pelaksanaan ibadah. Maksudnya, seseorang yang memulai ibadahnya dengan ikhlas, tapi kemudian niatnya berubah karena riya. Contohnya, ikhwan yang membaca al Qur’an dengan suara pelan saat sedang sendirian, tapi tiba-tiba dikeraskan dengan niat supaya terdengar oleh akhwat yang tiba-tiba melintas di depannya.
Kasus seperti itu tidak terlepas dari dua keadaan. Jika awal ibadah tidak berkaitan dengan akhir ibadah, maka ibadah yang dilakukan dibagian awal itu sah, sedangkan yang bagian akhir itu batal karena tercampur Riya. Contohnya, sedekah.
Awalnya seseorang bersedekah Rp 50 dengan ikhlas, kemudian ia bersedekah Rp 100 lagi karena ingin dipuji. Maka, yang pertama sah, dan yang kedua itu batal ibadahnya.
Awal Berkaitan dengan Akhir Ibadah
Jika awal ibadah itu terikat erat dengan akhir ibadah, maka ini akan merujuk pada dua kondisi.
Seseorang yang berusaha melawan riya dan merasa tidak tenang dengan keadaan tersebut, bahkan berusah berpaling dari riya dan membencinya.
Maka riya yang demikian tidak berpengaruh apapun terhadap ibadahnya.
Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya Allah mengampuni bisikan hati dari umatku selama tidak dilakukan atau diucapkan.”
Sedangkan, seseorang merasa tenang dengan riya dan tidak berusaha melawan, maka seluruh ibadahnya (dari awal sampai akhir) menjadi batal. Karena awal ibadah berkaitan dengan akhir ibadah.
Contohnya, sholat. Seseorang memulai sholat dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, tapi pada rakaat kedua terserang riya, maka seluruh sholat dari rakaat satu hingga terakhir menjadi batal karena rakaat pertama masih memiliki keterkaitan dengan rakaat terakhir.
Riya yang Menyerang Usai Ibadah
Ketiga, riya yang menyerang usai berakhirnya ibadah. Pada kondisi ini tidak berpengaruh sama sekali dan tidak membatalkan ibadah yang dilakukan.
Ibadah telah sempurna dilakukan dengan ikhlas maka hadirnya riya usai ibadah tidak merusak ibadah tersebut.
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Barangsiapa yang merasa senang dengan kebaikannya dan gelisah karena keburukannya maka dialah seorang mukmin.”
Ketika, Nabi SAW ditanya tentang hal ini, beliau bersabda, “Itulah kabar gembira yang disegerakan bagi orang beriman.”
Dengan demikian, seorang muslim perlu memperhatikan ibadahnya mulai dari awal hingga akhir.
Jangan sampai ibadah yang dikerjakan itu ternodai keikhlasannya oleh riya, dan pahalanya terkikis habis oleh dosa karena riya tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niat.”
Maka, dalam mengerjakan ibadah tentunya keikhlasan niat tersebut harus dijaga agar tetap lurus ‘lillahi ta’ala’ baik di awal, di tengah, maupun di akhir pelaksanaanya.
(ar/lb)