liputanbangsa.com – Para gen Z di China meninggalkan merek fesyen ternama seperti Louis Vuitton, Chanel, atau Prada. Mereka kini lebih menggandrungi produk replika alias tiruan.
Fenomena itu merupakan imbas perlambatan ekonomi yang melanda negara tersebut. Imbas perlambatan, gen Z di negara tersebut mengalami pemotongan gaji.
Masalah inilah yang membuat mereka berpikir dua kali dalam membeli produk fesyen mewah.
Dengan penghasilan terbatas, gen Z di China lebih memilih untuk membeli produk ‘pingti’ alias produk replika berkualitas tinggi dari barang bermerek, atau yang biasa dikenal sebagai barang tiruan.
Beberapa di antara barang ‘pingti’ hampir tidak bisa dibedakan dari barang aslinya. Sementara beberapa barang lainnya terinspirasi dari desain aslinya dan menawarkan lebih banyak warna atau tekstur.
Menurut para analis, popularitas kategori produk ini melonjak karena kepercayaan konsumen di China mendekati titik terendah dalam sejarah.
Padahal 10 tahun yang lalu, para konsumen China yang merupakan pembelanja barang mewah terbesar di dunia. Mereka berlomba-lomba membeli barang bermerek terkenal dari Barat.
Kini, konsumen semakin beralih ke alternatif yang lebih terjangkau, sebuah tren yang menjadi ‘mainstream baru’.
Kecintaan warga China yang semakin meningkat terhadap produk replika bukan hanya menjadi masalah bagi merek-merek ternama seperti Louis Vuitton.
Pasalnya, penjualan induk produsen merek mewah LVMH (Louis Vuitton Moet Hennessy) turun 10 persen dalam enam bulan pertama 2024 di wilayah Asia, kecuali Jepang, dibandingkan dengan 2023.
Tren ‘pingti’ berkontribusi pada konsumsi dan penjualan ritel yang lesu secara keseluruhan di China, yakni hanya naik 2,1 persen pada Agustus 2024.
Padahal, para ekonom memprediksi konsumsi dan penjualan ritel akan tumbuh 2,5 persen dalam periode tersebut.
Pada akhirnya, ketidakmampuan ibu kota China Beijing untuk memacu pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang kuat dan berkelanjutan di tengah krisis properti yang juga sedang berlangsung memiliki implikasi global yang sangat besar.
Banyak ekonom percaya bahwa akar penyebab dari berbagai kesengsaraan ekonomi China adalah sektor propertinya yang sedang sakit.
Sektor itu pernah menyumbang sebanyak 30 persen dari aktivitas ekonomi di China.
Namun pada 2019, industri ini mulai melemah dan jatuh ke dalam jurang yang dalam sekitar dua tahun kemudian. Kejatuhan terjadi setelah tindakan keras yang dipimpin oleh pemerintah terhadap pinjaman para pengembang.
Krisis tersebut telah mengakibatkan penurunan tajam harga real estat dan hilangnya kepercayaan di kalangan konsumen.
Individu dan perusahaan berusaha mempertahankan kekayaan mereka dengan menjual aset dan mengurangi konsumsi serta investasi.
Untuk menutupi kekurangan yang disebabkan oleh sektor properti, para pejabat di China sebagian besar berfokus pada promosi manufaktur, termasuk di sektor kendaraan listrik (EV).
Namun, strateginya untuk membanjiri pasar luar negeri telah menyebabkan penolakan global, terutama di antara para pembuat kendaraan listrik di Eropa.
(ar/lb)